Malaikat Itu Bernama IBU

Suatu ketika...seorang bayi siap untuk dilahirkan ke dunia.



Menjelang diturunkannya, ia bertanya kepada Tuhan. Para melaikat di sini mengatakan bahwa besok Engkau akan mengirimkanku ke dunia. Tapi bagaimana cara saya hidup disana, saya begitu kecil dan emah" kata si bayi.

Tuhan menjawab, "Aku telah memilih satu malaikat untukmu. ia akan menjaga dan mengasihimu"

"Tapi di surga, apa yang saya lakukan hanyalah bernyanyi dan tertawa. Ini cukup bagi saya untuk bahagia" Demikian kata si bayi.

Tuhan pun menjawab, "Malaikatmu akan bernyanyi dan tersenyum untukmu setiap hari dan kamu akan merasakan kehangatan cintanya dan jadi lebih berbahagia"

Si bayi pun bertanya kembali "Dan apa yang dapat saya lakukan saat saya ingin berbicara kepada-Mu?"

Sekali lagi Tuhan menjawab,"Malaikatmu akan mengajarkan bagaimana cara kamu berdo'a"

Si bayi masih belum puas. ia pun bertanya lagi, "Saya mendengar bahwa di bumi banyak orang jahat. Siapa yang akan melindungi saya ?"



Dengan penuh kesabaran Tuhan menjawab, "Malaikatmu akan melindungimu bahkan dengan taruhan jiwanya sekalipun"

Si bayipun tetap belum puas dan melanjutkan pertanyaannya, "Tapi saya akan bersedih karena tidak melihat Engkau lagi"

Dan Tuhan pun menjawab, "Malaikatmu akan menceritakan kepadamu tentang Aku. Dan akan mengajarkan bagaimana agar kamu bisa kembali kepada-Ku. walaupun sesungguhnya Aku selalu berada di sisimu"

Saat itu surga begitu tenangnya. sehingga suara dari bumi dapat terdengar dan sang anak dengan suara lirih bertanya, "Tuhan... Jika saya harus pergi sekarang, bisakah engkau memberitahu siapa nama malaikat di rumahku nanti ?"

Tuhanpun menjawab, "Kamu dapat memanggil malaikatmu.. . IBU" Kenanglah ibu yang menyayangimu



Untuk ibu yang selalu meneteskan air mata ketika kau pergi... Ingatkah engkau, ketika ibumu rela tidur tanpa selimut demi melihatmu tidur nyenyak dengan dua selimut membalut tubuhmu.

Ingatkah engkau ketika jemari ibu mengusap lembut kepalamu? Dan ingatkah engkau ketika air mata menetes dari mata ibumu ketika ia melihatmu terbaring sakit? Sesekali jenguklah ibumu yang selalu menantikan kepulanganmu di rumah sempat kau dilahirkan.

Kembalilah memohon maaf padanya yang selalu rindu akan senyumanmu. Jangan sampai kau kehilangan saat-saat yang kau rindukan di masa datang.

Ketika ibu telah tiada...

Tak ada lagi yang berdiri di depan pintu menyambut kita
Tak ada lagi senyuman indah tanda bahagia

Yang ada hanyalah kamar yang kosong tiada penghuninya
Yang ada hanyalah baju yang digantung di lemari kamarnya

Tak ada lagi
Dan tak akan ada lagi yang meneteskan air mata mendo'akanmu disetiap
hembusan nafasnya

Kembalilah segera... peluk ibu yang selalu menyayangimu. ..

Ciumlah kaki Ibu yang selalu merindukanmu dan berikanlah yang terbaik
untuk Ibu

Kekayaan Yg Tak Terlihat

Suatu hari, ayah dari suatu keluarga yang sangat sejahtera
membawa anaknya bepergian ke suatu negara yang sebagian besar
penduduknya hidup dari hasil pertanian, dengan maksud untuk
menunjukkan bagaimana kehidupan orang-orang yang miskin.

Mereka menghabiskan waktu berhari-hari di sebuah tanah
pertanian milik keluarga yang terlihat sangat miskin.
Sepulang dari perjalanan tersebut, sang ayah bertanya kepada
anaknya, "Bagaimana perjalanan tadi?" "Sungguh luar biasa, Pa."
"Kamu lihat kan bagaimana kehidupan mereka yang miskin?"
tanya sang ayah. "Iya, Pa," jawabnya. "Jadi, apa yang dapat
kamu pelajari dari perjalanan ini?" tanya ayahnya lagi.


Si anak menjawab, "Saya melihat kanyataan bahwa kita mempunyai
seekor anjing sedangkan mereka memiliki empat ekor.

Kita punya sebuah kolam yang panjangnya hanya sampai ke
tengah-tengah taman, sedangkan mereka memiliki sungai kecil
yang tak terhingga panjangnya.

Kita memasang lampu taman yang dibeli dari luar negeri dan
mereka memiliki bintang-bintang di langit untuk menerangi
taman mereka.

Beranda rumah kita begitu lebar mencapai halaman depan dan
milik mereka seluas horison.

Kita tinggal dan hidup di tanah yang sempit sedangkan mereka
mempunyai tanah sejauh mata memandang.

Kita memiliki pelayan yang melayani setiap kebutuhan kita
tetapi mereka melayani diri mereka sendiri.


Kita membeli makanan yang akan kita makan, tetapi mereka
menanam sendiri.


Kita mempunyai dinding indah yang melindungi diri kita dan
mereka memiliki teman-teman untuk menjaga kehidupan mereka.


Dengan cerita tersebut, sang ayah tidak dapat berkata apa-apa.
Kemudian si anak menambahkan, "Terima kasih, Pa, akhirnya aku
tahu betapa miskinnya diri kita."

Terlalu sering kita melupakan apa yang kita miliki dan hanya
berkonsentrasi terhadap apa yang tidak kita miliki. Kadang
kekurangan yang dimiliki seseorang merupakan anugerah bagi
orang lain.


Semua berdasar pada perspektif setiap pribadi. Pikirkanlah apa
yang akan terjadi jika kita semua bersyukur kepada Tuhan atas
anugerah yang telah disediakan oleh-Nya bagi kita, daripada
kuatir untuk meminta lebih lagi.

Alasan-dibalik-kegagalan.

Bila anda mencari alasan untuk sebuah kegagalan, anda bisa
temukan berjuta-juta dengan mudahnya. Namun, alasan tetaplah
alasan. Ia takkan mengubah kegagalan menjadi keberhasilan.
Kerapkali, alasan serupa dengan pengingkaran. Semakin banyak
menumpuk alasan, semakin besar pengingkaran pada diri sendiri.
Ini menjauhkan anda dari keberhasilan; sekaligus melemahkan
kekuatan diri sendiri. Berhentilah mencari suatu alasan untuk
menutupi kegagalan. Mulailah bertindak untuk meraih keberhasilan.

Belajarlah dari penambang yang tekun mencari emas. Ditimbanya
berliter-liter tanah keruh dari sungai. Ia saring lumpur dari
pasir. Ia sisir pasir dari logam. Tak jemu ia lakukan hingga
tampaklah butiran emas berkilauan. Begitulah semestinya anda
memperlakukan kegagalan. Kegagalan itu seperti pasir keruh yang
menyembunyikan emas. Bila anda terus berusaha, tekun mencari
perbaikan di sela-sela kerumitan, serta berani menyingkirkan
alasan-alasan, maka anda akan menemukan cahaya kesempatan.
Hanya mencari alasan, sama saja dengan membuang pasir dan
semua emas yang ada di dalamnya.

Hari ini sebelum kamu mengatakan kata-kata yang tidak baik

Pikirkan tentang seseorang yang tidak dapat
berbicara sama sekali

Sebelum kamu mengeluh tentang rasa dari makananmu,
Pikirkan tentang seseorang yang tidak punya apapun
untuk dimakan.

Sebelum kamu mengeluh tidak punya apa-apa
Pikirkan tentang seseorang yang meminta-minta
di jalanan.

Sebelum kamu mengeluh bahwa kamu buruk,
Pikirkan tentang seseorang yang berada pada
tingkat yang terburuk didalam hidupnya.

Sebelum kamu mengeluh tentang suami atau istri anda.
Pikirkan tentang seseorang yang memohon kepada
Tuhan untuk diberikan teman hidup

Hari ini sebelum kamu mengeluh tentang hidupmu,
Pikirkan tentang seseorang yang meninggal terlalu cepat

Sebelum kamu mengeluh tentang anak-anakmu,
Pikirkan tentang seseorang yang sangat ingin mempunyai anak tetapi dirinya mandul

Sebelum kamu mengeluh tentang rumahmu yang kotor
karena pembantumu tidak mengerjakan tugasnya,
Pikirkan tentang orang-orang yang tinggal di jalanan

Sebelum kamu mengeluh tentang jauhnya kamu telah menyetir,
Pikirkan tentang seseorang yang menempuh jarak yang sama dengan berjalan

Dan disaat kamu lelah dan mengeluh tentang pekerjaanmu,
Pikirkan tentang pengangguran, orang-orang cacat
yang berharap mereka mempunyai pekerjaan seperti anda


Sebelum kamu menunjukkan jari dan menyalahkan orang lain,
ingatlah bahwa tidak ada seorangpun yang tidak berdosa..


Kita semua menjawab kepada Tuhan


"Dan ketika kamu sedang bersedih dan hidupmu dalam
kesusahan, Tersenyum dan mengucap syukurlah kepada Tuhan
bahwa kamu masih hidup !"


Life is a gift . .

Live it...

Enjoy it...

Celebrate it...

And fulfill it...


Cintai orang lain dengan perkataan dan perbuatanmu..
Cinta diciptakan tidak untuk disimpan atau disembunyikan..
Anda tidak mencintai seseorang karena dia cantik atau tampan,
karena anda menyayangi dan mencintai Mereka,
jadilah meraka CANTIK dan TAMPAN

Kecantikan bukan diwajah dan ketampanan bukan digagahnya seseorang,
tapi cantik dan tampan muncul dari HATI, disebut jg dengan Hati Nurani.

Presiden Teladan, Presiden Termiskin Dunia


Semoga ini menjadi bahan renungan kita, terutama orang kalangan atas pejabat dan menteri!!

Presiden Iran saat ini: Mahmoud Ahmadinejad, ketika di wawancara oleh TV Fox (AS) soal kehidupan pribadinya:

"Saat anda melihat di cermin setiap pagi, apa yang anda katakan pada diri anda?"
Jawabnya: "Saya melihat orang di cermin itu dan mengatakan padanya:
"Ingat, kau tak lebih dari seorang pelayan, hari di depanmu penuh dengan tanggung jawab yang berat, yaitu melayani bangsa Iran ."

Berikut adalah gambaran Ahmadinejad yang belum tentu orang ketahui, dan pastiyang membuat orang ternganga dan terheran-heran :


1. Saat pertama kali menduduki kantor kepresidenan
Ia menyumbangkan seluruh karpet Istana Iran yang sangat tinggi nilainya itu
kepada masjid2 di Teheran dan menggantikannya dengan karpet biasa yang mudah dibersihkan.

2. Ia mengamati bahwa ada ruangan yang sangat besar untuk menerima dan menghormati tamu VIP,
lalu ia memerintahkan untuk menutup ruang tersebut dan menanyakan pada protokoler
untuk menggantinya dengan ruangan biasa dengan 2 kursi kayu, meski sederhana tetap terlihat impresive.




3. Di banyak kesempatan ia bercengkerama dengan petugas kebersihan di sekitar rumah dan kantor kepresidenannya.

4. Di bawah kepemimpinannya, saat ia meminta menteri2 nya untuk datang kepadanya
dan menteri2 tsb akan menerima sebuah dokumen yang ditandatangani yang berisikan arahan2 darinya,
arahan tersebut terutama sekali menekankan para menteri2nya untuk tetap hidup sederhana
dan disebutkan bahwa rekening pribadi maupun kerabat dekatnya akan diawasi,
sehingga pada saat menteri2 tsb berakhir masa jabatannya dapat meninggalkan kantornya dengan kepala tegak.

5. Langkah pertamanya adalah ia mengumumkan kekayaan dan propertinya yang terdiri dari Peugeot 504 tahun 1977,
sebuah rumah sederhana warisan ayahnya 40 tahun yang lalu di sebuah daerah kumuh di Teheran.
Rekening banknya bersaldo minimum, dan satu2nya uang masuk adalah uang gaji bulanannya.

6. Gajinya sebagai dosen di sebuah universitas hanya senilai US$ 250.

7. Sebagai tambahan informasi, Presiden masih tinggal di rumahnya.
Hanya itulah yang dimilikinyaseorang presiden dari negara yang penting baik secara strategis, ekonomis, politis,
belum lagi secara minyak dan pertahanan.
Bahkan ia tidak mengambil gajinya, alasannya adalah bahwa semua kesejahteraan adalah milik negara dan ia bertugas untuk menjaganya.

8. Satu hal yang membuat kagum staf kepresidenan adalah tas yg selalu dibawa sang presiden tiap hari selalu berisikan sarapan;
roti isi atau roti keju yang disiapkan istrinya dan memakannya dengan gembira,
ia juga menghentikan kebiasaan menyediakan makanan yang dikhususkan untuk presiden.



9. Hal lain yang ia ubah adalah kebijakan Pesawat Terbang Kepresidenan,
ia mengubahnya menjadi pesawat kargo sehingga dapat menghemat pajak masyarakat dan untuk dirinya,
ia meminta terbang dengan pesawat terbang biasa dengan kelas ekonomi.

10. Ia kerap mengadakan rapat dengan menteri2 nya untuk mendapatkan info tentang kegiatan dan efisiensi yang sdh dilakukan,
dan ia memotong protokoler istana sehingga menteri2 nya dapat masuk langsung ke ruangannya tanpa ada hambatan.
Ia juga menghentikan kebiasaan upacara2 seperti karpet merah, sesi foto, atau publikasi pribadi,
atau hal2 spt itu saat mengunjungi berbagai tempat di negaranya.


11. Saat harus menginap di hotel, ia meminta diberikan kamar tanpa tempat tidur yg tidak terlalu besar
karena ia tidak suka tidur di atas kasur, tetapi lebih suka tidur di lantai beralaskan karpet dan selimut.
Apakah perilaku tersebut merendahkan posisi presiden?
Presiden Iran tidur di ruang tamu rumahnya sesudah lepas dari pengawal2nya yg selalu mengikuti kemanapun ia pergi.
Menurut koran Wifaq, foto2 yg diambil oleh adiknya tersebut,
kemudian dipublikasikan oleh media masa di seluruh dunia, termasuk amerika.



12. Sepanjang sholat, anda dapat melihat bahwa ia tidak duduk di baris paling muka



13. Bahkan ketika suara azan berkumandang,
ia langsung mengerjakan sholat dimanapun ia berada meskipun hanya beralaskan karpet biasa





14. baru-baru ini dia baru saja mempunyai Hajatan Besar Yaitu Menikahkan Puteranya. Tapi pernikahan putra Presiden ini hanya layaknya pernikahan kaum Buruh. Berikut dokumentasi pernikahan Putra Seorang Presiden



sungguh sederhana dan menyentuh.....dia melakukan hal-hal diatas disaat dia mampu melakukan hal yg lebih dari itu...







Pemimpin seperti ini lah yg kita butuhkan....

mudah-mudahan suatu saat nanti negara kita akan mendapatkan pemimpin seperti beliau ataupun yg lebih baik, Amin...

Ayah, Aku Sayang Padamu

Sore ini tepat di depanku, duduk seorang bapak separuh baya, dengan penuh kasih mengusap kepala anaknya yang berkali-kali menguap karena kantuk. Menurut taksiranku, si bapak berusia 56 tahun dan si anak sekitar usia kelas empat SD. Aku merasa iri dengan kemesraan yang mereka pertontonkan.
Pikiranku menerawang. Terlintas kembali perjalanan waktu yang telah kuhabiskan bersama Ayah. Aku masih
ingat ketika suatu waktu, Ayah mengajakku mengunjungi rumah kakek yang jauh dari rumah kami. Ya, kakekku seorang petani yang sangat sederhana. Walaupun dengan ekonomi yang tidak menentu kakek berhasil mengantarkan anak-anaknya mengenyam pendidikan, mengantarkan mereka menjadi seorang guru. Padahal pada masa itu, pendidikan formal menjadi hal yang sangat istimewa dan mahal.

Ayah tunjukkan kepadaku bagaimana seorang anak harus bersikap terhadap orang tuanya. Ayah ajari aku,
tentang bakti seorang anak kepada orang yang telah bersusah mendidiknya.

Ayah, masih ingatkah engkau? Saat usiaku baru lima tahun. Hari itu kita berdua, bersepeda tua yang Ayah
miliki, kita lalui puluhan kilometer jalan yang membentang menuju rumah kakek. Susuri jalan berbatu
dengan hamparan tanaman padi yang menghijau.
Aku masih sering tersenyum mengenangnya, ketika suatu waktu sekembali kita dari rumah kakek, sepeda yang
kita kendarai dikejar kambing karena melihat sayuran yang kita bawa. Kita terjerembab ke sawah, dan kita
tertawa bersama. Hhhh... alih-alih menghindari kejaran kambing, sayuran yang kita bawa tidak ada yang
tersisa.

Ayah... ingin rasanya kuulangi kembali putaran waktu ke masa kecilku. Ingin rasanya kurasakan lagi keceriaan, ketika Ayah memintaku menginjak-nginjak punggungmu yang penat setelah seharian bekerja, tanpa tahu mengapa harus kulakukan itu?
Ayah... begitu sabarnya engkau, ketika mendengar celoteh rekan sejawat bahwa kita penghuni "pilla" -nyempil di sakola- (tinggal di rumah dinas) yang abadi. Walaupun sebenarnya aku tahu, begitu besarnya harapan Ayah mempersembahkan kepada kami anak-anakmu rumah bagus yang kita idamkan. Tidak seperti rumah
dinas yang kita tinggali, yang harus sering kita bersihkan lantainya dari runtuhan dinding yang mengelupas di sana-sini. Alhamdulillah, setelah 15 tahun jadi penghuni rumah dinas, kita bisa punya rumah sendiri, walaupun sangat jauh dari rumah ideal yang selalu kita perbincangkan.

Ayah berikan semua gaji yang tak seberapa di setiap awal bulan, demi pendidikan dan uang jajanku. Padahal
aku tahu, engkau sering mengabaikan kebutuhanmu, engkau sering lupa untuk beli baju, sepatu dan tas
yang akan kau pakai mengajar. Pernah suatu waktu kudengar murid-muridmu menertawaimu, karena tas,
sepatu dan baju yang kau kenakan selalu yang warna biru, karena hanya itulah yang kau punya. Ayah tidak
pernah malu, pergi mengajar bersepeda walau murid-muridmu sering mencemoohmu, bahkan sampai kini,
ketika sepeda motor murah banyak ditawarkan di berbagai iklan. Aku tahu, engkau ingin sekali suatu
waktu pergi mengajar dengan langkah ringan tanpa susah payah mengayuh sepeda yang kau kendarai. Tapi demi aku, demi anak-anakmu, Ayah relakan hidup bersahaja, hidup berdua bersama ibu dalam kesederhanaan.

Delapan tahun sudah kita tidak serumah, sejak aku memulai kuliah di kota ini. Aku rindu ayah... setelah kemesraan kita seolah sirna, karena kesombonganku yang jarang menjenguk Ayah dengan alasan sibuk bekerja, tidak betah dengan cuaca yang panas atau beribu alasan yang menghambur dari mulut ini. Padahal, cukup dengan tiga jam saja waktu yang mesti kulalui, perjalanan untuk menemuimu.

Ayah... dalam kesendirian hidupku di kota ini, aku rindu teriakan Ayah ketika menegurku untuk segera mandi dan berwudhu saat waktu shubuh tiba. Aku rindu untuk mendengar cerita masa kecil Ayah saat menggembala kerbau, mandi di sungai atau tentang kegiatan Ayah menghabiskan hari bulan ramadhan di surau mengkaji ilmu agama. Aku rindu dengan nasihat Ayah yang selalu menyejukkan. Masih selalu terdengar kata-kata Ayah ketika aku sering menangis karena dijahili teman-teman sekolah, "anak laki-laki harus tangguh!".

Ayah... aku yakin Ayah pasti lupa dengan kelancangan kata-kata yang menghambur dari mulutku yang busuk ini, kedurhakaan sikapku terhadapmu selama ini, dan Ayah pasti telah lupa dengan perilaku yang selalu
menyakitkan hatimu.

***
Sahabat, waktu terus berlalu, kita sering tidak sadar, bahwa setegar apapun Ayah kita, mereka manusia biasa,
yang selalu butuh tegur sapa dan canda kita, hanya untuk sekedar melepas ketegangan karena masalah yang
selalu menghampiri. Kita sering tidak sadar, perhatian berlebih yang semestinya kita berikan kepada orang tua
terus berkurang tergerus oleh aktivitas yang menyibukkan.

Bersyukurlah bagi kita yang masih mempunyai orang tua yang lengkap, yang masih menyertai kita melewati
hari-hari kehidupan ini. Karena ada di antara kita yang telah lama ditinggal orang tuanya, mendahului
menghadap-Nya atau karena alasan lain, bahkan ada sahabat kita yang tidak pernah tahu, siapa
ayah-ibunya. Ayo ah, jangan tunda lagi untuk memberikan pengabdian yang terbaik untuk mereka.
Karena kesuksesan mereka sesungguhnya adalah kesuksesan membesarkan kita, kesuksesan manakala
setiap sisi kehidupan kita selalui dihiasi oleh perilaku yang Rasulullah contohkan, berkata dan berbuat hanya mengharap ridha Allah Swt.

Ya Allah limpahkan kasih-Mu ya Muhaimin. Aku sadar, aku tidak akan pernah bisa membalas kasih sayang yang telah mereka curahkan. Mereka akan terus dan terus mendoakanku dalam sujud malamnya, dalam derai air mata pengharapannya, demi kesuksesan dunia akhiratku.

Ya Allah... muliakan mereka di sisi-Mu wahai Maha Pemberi Rahmat, di Jannah-Mu.
Ayah, setahun lagi usai sudah tugas formalmu mengabdi demi kecerdasan anak-anak negeri ini. Semoga derap
langkah dalam mengisi hari tuamu, selalu dihiasi dengan munajat dan keikhlasan dalam beramal dalam
rangka menjemput kematian yang khusnul khatimah, Amiin... semoga.

Panorama turun? Aku tersentak, ehm... sudah maghrib nih. Bergegas aku berlomba dengan para jamaah
pengajian, memburu mesjid terdekat untuk segera memenuhi panggilan-Nya. (Isola, selepas kerja,
mengenang sekian tahun perjalanan, saat kerinduan yang tak tertahankan terhadap ayah)

dari milist jayanusa

Anak sepasang bintang

Jangan katakan apa-apa. Tidak ada yang perlu Bunda jelaskan tentang masa lalu. Bunda tetaplah Bunda. Perempuan yang dicipta dari seribu kuntum bunga!"

Bunda manusia biasa. Mungkin pernah khilaf di masa lalunya. Tapi bagiku Bunda adalah anugerah Allah terbesar dalam hidup ini.

------------------------
Anak sepasang bintang

"Bunda ..., jadah itu artinya apa?" Bunda tersentak waktu itu. Tak menyangka pertanyaan itu akan keluar dari sela bibir mungilku, gadis kecilnya yang baru berumur lima tahun. "Kenapa Sayang?" Bunda bertanya sambil mendekapku di dadanya.

"Orang-orang menyebutku seperti itu," jawabku dengan sangat polos. Aku memeluk Bunda semakin erat dan merasakan perlindungannya. Di waktu lainnya aku ajukan pertanyaan lain padanya.

"Bunda ..., apa saya punya Ayah? Orang-orang itu bilang saya tak punya Ayah," tanyaku. Bunda baru saja selesai mendongeng padaku waktu itu. Bunda tertegun begitu lama.

"Ada!" tegas Bunda meyakinkanku. "Di mana? Kenapa aku tak bisa menemuinya?"

Bunda membimbingku bangkit dari tempat tidur kayu berkepinding. Berjalan ke halaman tanpa penerangan. "Kau lihat langit di atas sana?" Bunda bertanya tanpa melepas genggamannya. Aku mengangguk mengiyakan. "Ayahmu ada di sana!" jawab Bunda meyakinkan.

Aku tidak melihat apa-apa. Selain langit hitam dan taburan berjuta bintang tidak ada gambar wajah manusia terlihat di sana. Tapi aku tidak ingin bertanya lagi. Barangkali ayahku adalah satu di antara kerlip bintang-bintang itu. Besok jika anak-anak itu menggodaku lagi dan mengatakan aku tidak punya ayah aku sudah punya jawabannya.
* * *
Sejak kecil aku cuma punya Bunda. Perempuan yang miskin tanpa harta tapi penuh cinta. Yang selalu menyediakan dadanya untuk menyerap luka-luka. Dengan upah seadanya sebagai tukang cuci pakaian pada beberapa keluarga, Bunda selalu menabung. Katanya aku harus sekolah setinggi mungkin dan jadi orang pandai. Agar tidak bodoh dan melarat seperti dirinya.

Bunda lewati seluruh kehidupan berat sendiri. Mengasuh anak yang terus tumbuh tanpa pendamping di sisi. Tidak mudah memang. Tapi tidak sekalipun aku melihatnya berduka. Kecuali sekali pada suatu malam aku terbangun dan melihatnya mengisak di atas sehelai sajadah. Setiap kali aku menanyakan hal itu pada Bunda, cuma air matalah yang kemudian menjadi jawabannya. Seperti menguak luka yang tak pernah kering sama sekali. Lalu aku jadi tak pernah tega memaksa Bunda untuk menjawabnya. Sebab Bunda terlalu mulia untuk terluka.

Aku tidak ingin mengecewakan Bunda. Perjuangannya tidak boleh sia-sia. Keinginannya melihatku sekolah setinggi mungkin memacu semangatku untuk belajar dengan giat. Aku selalu berhasil mencapai gelar juara sejak duduk di bangku SD hingga SMU. Lalu kemudian aku terpaksa berpisah dengan Bunda.

Aku diterima masuk tanpa test di salah satu perguruan tinggi terkemuka di kota Pontianak. Sekarang aku bahkan telah diterima bekerja di salah satu Bank Syariah terkemuka yang baru berdiri. Aku ingin menjemput Bunda untuk mengajaknya pindah ke kota ini. Tapi Bunda menolak.
* * *
Kukira dengan meninggalkan tempat kelahiran, aku akan bisa hidup dengan tenang. Semua mimpi buruk masa kecil tentang siapa ayahku tidak akan memburuku sampai ke kota ini. Tapi tidak. Sepertinya ia menjelma jadi kutukan yang mengikuti kemana aku pergi. Aku telah dewasa kini. Telah siap untuk menikah dan berkeluarga. Sudah tiga orang lelaki shaleh yang datang mengajukan lamaran padaku. Tapi sudah tiga kali pula aku terpaksa menolaknya. Aku takut menceritakan keluargaku. Aku tak mungkin mengatakan bahwa aku anak sebuah bintang.

"Rabbi ..., aku hanya ingin tahu siapa lelaki yang menjadi ayahku. Hanya itu. Apa aku durhaka pada Bunda?"

"Kau beruntung masih mempunyai Bunda. Aku dibesarkan di panti asuhan, tak tahu siapa keluargaku." Asti, teman satu kamarku mencoba menghiburku. Aku insyaf kini. Aku masih sangat beruntung mempunyai Bunda. Dalam sujudku malam itu aku menangis. Mohon kesempatan pada Allah untuk membahagiakan Bunda. Perempuan yang dicipta dari seribu kuntum bunga.
* * *
Berita itu sampai lewat seorang tamu. Salah seorang tetangga kami di kampung dulu. Sengaja datang untuk mengunjungiku. Padaku ia cerita Bunda sedang sakit. "Sebenarnya ia sakit sejak lama. Tapi tak mau cerita. Bunda bilang tak mau kalau pekerjaanmu terganggu. Tapi aku pikir kau memang perlu tahu!"

Di rumah aku lihat Bunda terbaring di tempat tidurnya. Tempat tidur yang sama seperti masa kecilku dulu. Tempat Bunda biasa mendekap, mendongeng dan berdoa sebelum lelap menyergapku.

"Kenapa Bunda tidak memberitahuku?" tanyaku setelah mencium tangannya.

"Bunda tak mau pikiranmu terganggu," jawabnya sambil tetap mengukir senyum di wajahnya. Tapi aku melihatnya semakin lemah saja. "Bunda ingin mengatakan sesuatu tentang ayahmu, ia ...,"

"Tidak perlu, Bunda," potongku cepat. "Jangan katakan apa-apa. Tidak ada yang perlu Bunda jelaskan tentang masa lalu. Bunda tetaplah Bunda. Perempuan yang dicipta dari seribu kuntum bunga!"

Aku memang sudah tidak lagi perduli. Bunda manusia biasa. Mungkin pernah khilaf di masa lalunya. Tapi bagiku kini Bunda adalah anugerah Allah terbesar dalam hidup ini. Dua hari kemudian Bunda berpulang ke Rahmatullah.

Malam itu kembali aku menatap langit. Seperti waktu kecil dulu saat aku bertanya pada Bunda di mana ayahku. Bunda akan menunjuk ke arah langit.Tempat kegelapan malam dihiasi pendar jutaan bintang. Bunda kini telah pergi. Menyusul ayahku di tempat yang abadi. Dan aku tahu kini. Jika seorang lelaki shaleh datang untuk melamar dan bertanya tentang keluargaku, aku akan mengatakan bahwa aku adalah anak sepasang bintang!

Sahabat, apa pun yang kehidupan berikan kepada kita, syukuri dan nikmatilah. Karena sesungguhnya, dalam tiap kesukaran ada kemudahan, dalam tiap kepahitan selalu terselip berkah, sepanjang mata hati kita selalu terasah. (CN02)

Jeruk Busuk Rasa Manis

Oleh Bayu Gawtama


Suatu hari, ketika saya sedang menjenguk salah satu saudara yang tengah dirawat di rumah sakit, terdengar suara makian keras dari pasien sebelah, "Bawa jeruk kok busuk, mau ngeracunin saya? Biar saya cepat mati?"

Suara marah itu berasal dari lelaki tua yang kedatangan salah satu keluarganya dengan membawa jeruk. Boleh jadi benar, bahwa beberapa jeruk dalam jinjingan itu busuk atau masam. Meski tidak semua jeruk yang dibawanya itu busuk dan sangat kebetulan yang terambil pertama oleh si pasien yang busuk. Dan tanpa bertanya lagi, marahlah ia kepada si pembawa jeruk.

Sebenarnya, boleh dibilang wajar jika seorang pasien marah lantaran kondisinya labil dan kesehatannya terganggu. Ketika ia marah karena jeruk yang dibawa salah satu keluarganya itu busuk, mungkin itu hanya pemicu dari segunung emosi yang terpendam selama berhari-hari di rumah sakit. Penat, bosan, jenuh, mual, pusing, panas, dan berbagai perasaan yang menderanya selama berhari-hari, belum lagi ditambah dengan bisingnya rumah sakit, perawat yang kadang tak ramah, keluarga yang mulai uring-uringan karena kepala keluarganya sekian hari tak bekerja, semuanya membuat dadanya bergemuruh. Lalu datanglah salah satu saudaranya dengan setangkai ketulusan berjinjing jeruk. Namun karena jeruk yang dibawanya itu tak bagus, marahlah ia.

Wajar. Sekali lagi wajar. Tetapi tidak dengan peristiwa lain yang hampir mirip terjadi di acara keluarga besar belum lama ini. Seorang keluarga yang tengah diberi ujian Allah menjalani kehidupannya dalam ekonomi menengah ke bawah, berupaya untuk tetap berpartisipasi dalam acara keluarga besar tersebut. Tiba-tiba, "Kalau nggak mampu beli jeruk yang bagus, mending nggak usah beli. Jeruk asam gini siapa yang mau makan?" suara itu terdengar di tengah-tengah keluarga dan membuat malu keluarga yang baru datang itu.

Pupuslah senyum keluarga itu, rusaklah acara kangen-kangenan keluarga oleh kalimat tersebut. Si empunya suara mungkin hanya melihat dari jeruk masam itu, tapi ia tak mampu melihat apa yang sudah dilakukan satu keluarga itu untuk bisa membawa sekantong jeruk yang boleh jadi harganya tak seberapa.

Harga sekantong jeruk mungkin tak lebih dari sepuluh ribu rupiah. Tapi tahukah seberapa besar pengorbanan yang dilakukan satu keluarga itu untuk membelinya? Rumahnya sangat jauh dari rumah tempat acara keluarga, dan sedikitnya tiga kali tukar angkutan umum. Sepuluh ribu itu seharusnya bisa untuk makan satu hari satu keluarga. Boleh jadi mereka akan menggadaikan satu hari mereka tanpa lauk pauk di rumah. Atau jangan-jangan pagi hari sebelum berangkat, tak satu pun dari anggota keluarga itu sempat menyantap sarapan karena uangnya dipakai untuk membeli jeruk. Yang lebih parah, mungkin juga mereka rela berjalan kaki dari jarak yang sangat jauh dan memilih tak menumpang satu dari tiga angkutan umum yang seharusnya. "Ongkos bisnya kita belikan jeruk saja ya, buat bawaan. Nggak enak kalau nggak bawa apa-apa," kata si Ayah kepada keluarganya.

Kalimat sang Ayah itu, hanya bisa dijawab dengan tegukan ludah kering si kecil yang sudah tak sanggup menahan lelah dan panas berjalan beberapa ratus meter. Tak tega, Ayah yang bijak itu pun menggendong gadis kecil yang hampir pingsan itu. Ia tetap memaksakan hati untuk tega demi bisa membeli harga dari di depan keluarga besarnya walau hanya dengan sekantong jeruk. Menahan tangisnya saat mendengar lenguhan nafas seluruh anggota keluarganya sambil berkali-kali membungkuk, jongkok, atau bahkan singgah sesaat untuk mengumpulkan tenaga. Itu dilakukannya demi mendapatkan sambutan hangat keluarga besar karena menjinjing sesuatu.

Setibanya di tempat acara, sebuah rumah besar milik salah satu keluarga jauh yang sukses, menebar senyum di depan seluruh keluarga yang sudah hadir sambil bangga bisa membawa sejinjing jeruk, lupa sudah lelah satu setengah jam berjalan kaki, tak ingat lagi terik yang memanggang tenggorokan, bertukar dengan sejumput rindu berjumpa keluarga. Namun, terasa sakit telinga, layaknya dibakar dua matahari siang. Lebih panas dari sengatan yang belum lama memanggang kulit, ketika kalimat itu terdengar, "Jeruk asam begini kok dibawa..."

Duh. Jika semua tahu pengorbanan yang dilakukan satu keluarga itu untuk bisa menjinjing sekantong jeruk tadi, pastilah semua jeruk asam itu akan terasa manis. Jauh lebih manis dari buah apa pun yang dibawa keluarga lain yang tak punya masalah keuangan. Yang bisa datang dengan kendaraan pribadi atau naik taksi dengan ongkos yang cukup untuk membeli seperti jeruk manis dan segar.

Mampukah kita melihat sedalam itu? Sungguh, manisnya akan terasa lebih lama, meski jeruknya sudah dimakan berhari-hari yang lalu.

Dasyatnya Sedekah

Dimanakah letak kedahsyatan hamba-hamba Allah yang bersedekah? Dikisahkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan Ahmad, sebagai berikut :

Tatkala Allah SWT menciptakan bumi, maka bumi pun bergetar. Lalu Allah pun menciptkana gunung dengan kekuatan yang telah diberikan kepadanya, ternyata bumi pun terdiam. Para malaikat terheran-heran akan penciptaan gunung tersebut. Kemudian mereka bertanya? "Ya Rabbi, adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari pada gunung?"


Allah menjawab, "Ada, yaitu besi" (Kita mafhum bahwa gunung batu pun bisa menjadi rata ketika dibor dan diluluhlantakkan oleh buldozer atau sejenisnya yang terbuat dari besi).

Para malaikat pun kembali bertanya, "Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari pada besi?"

Allah yang Mahasuci menjawab, "Ada, yaitu api" (Besi, bahkan baja bisa menjadi cair, lumer, dan mendidih setelah dibakar bara api).

Bertanya kembali para malaikat, "Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari pada api?"

Allah yang Mahaagung menjawab, "Ada, yaitu air" (Api membara sedahsyat apapun, niscaya akan padam jika disiram oleh air).

"Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari air?" Kembali bertanya para malaikta.

Allah yang Mahatinggi dan Mahasempurna menjawab, "Ada, yaitu angin" (Air di samudera luas akan serta merta terangkat, bergulung-gulung, dan menjelma menjadi gelombang raksasa yang dahsyat, tersimbah dan menghempas karang, atau mengombang-ambingkan kapal dan perahu yang tengah berlayar, tiada lain karena dahsyatnya kekuatan angin. Angin ternyata memiliki kekuatan yang teramat dahsyat).

Akhirnya para malaikat pun bertanya lagi, "Ya Allah adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih dari semua itu?"

Allah yang Mahagagah dan Mahadahsyat kehebatan-Nya menjawab, "Ada, yaitu amal anak Adam yang mengeluarkan sedekah dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya tidak mengetahuinya."

Artinya, orang yang paling hebat, paling kuat, dan paling dahsyat adalah orang yang bersedekah tetapi tetap mampu menguasai dirinya, sehingga sedekah yang dilakukannya bersih, tulus, dan ikhlas tanpa ada unsur pamer ataupun keinginan untuk diketahui orang lain.


Inilah gambaran yang Allah berikan kepada kita bagaimana seorang hamba yang ternyata mempunyai kekuatan dahsyat adalah hamba yang bersedekah, tetapi tetap dalam kondisi ikhlas. Karena naluri dasar kita sebenarnya selalu rindu akan pujian, penghormatan, penghargaan, ucapan terima kasih, dan sebagainya. Kita pun selalu tergelitik untuk memamerkan segala apa yang ada pada diri kita ataupun segala apa yang bisa kita lakukan. Apalagi kalau yang ada pada diri kita atau yang tengah kita lakukan itu berupa kebaikan.

Karenanya, tidak usah heran, seorang hamba yang bersedekah dengan ikhlas adalah orang-orang yang mempunyai kekuatan dahsyat. Sungguh ia tidak akan kalah oleh aneka macam selera rendah, yaitu rindu pujian dan penghargaan.

Apalagi kedahsyatan seorang hamba yang bersedekah dengan ikhlas? Pada suatu hari datang kepada seorang ulama dua orang akhwat yang mengaku baru kembali dari kampung halamannya di kawasan Jawa Tengah. Keduanya kemudian bercerita mengenai sebuah kejadian luar biasa yang dialaminya ketika pulang kampung dengan naik bis antar kota beberapa hari sebelumnya. Di tengah perjalanan bis yang ditumpanginya terkena musibah, bertabrakan dengan dahsyatnya. Seluruh penumpang mengalami luka berat. Bahkan para penumpang yang duduk di kurs-kursi di dekatnya meninggal seketika dengan bersimbah darah. Dari seluruh penumpang tersebut hanya dua orang yang selamat, bahkan tidak terluka sedikit pun. Mereka itu, ya kedua akhwat itulah. Keduanya mengisahkan kejadian tersebut dengan menangis tersedu-sedu penuh syukur.

Mengapa mereka ditakdirkan Allah selamat tidak kurang suatu apa? Menurut pengakuan keduanya, ada dua amalan yang dikerjakan keduanya ketika itu, yakni ketika hendak berangkat mereka sempat bersedekah terlebih dahulu dan selama dalam perjalanan selalu melafazkan zikir.

Sahabat, tidaklah kita ragukan lagi, bahwa inilah sebagian dari fadhilah (keutamaan) bersedekah. Allah pasti menurunkan balasannya disaat-saat sangat dibutuhkan dengan jalan yang tidak pernah disangka-sangka.

Allah Azza wa Jalla adalah Zat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada semua hamba-Nya. Bahkan kepada kita yang pada hampir setiap desah nafas selalu membangkang terhadap perintah-Nya pada hampir setiap gerak-gerik kita tercermin amalan yang dilarang-Nya, toh Dia tetap saja mengucurkan rahmat-Nya yang tiada terkira.

Segala amalan yang kita perbuat, amal baik ataupun amal buruk, semuanya akan terpulang kepada kita. Demikian juga jika kita berbicara soal harta yang kini ada dalam genggaman kita dan kerapkali membuat kita lalai dan alpa. Demi Allah, semua ini datangnya dari Allah yang Maha Pemberi Rizki dan Mahakaya. Dititipkan-Nya kepada kita tiada lain supaya kita bisa beramal dan bersedekah dengan sepenuh ke-ikhlas-an semata-mata karena Allah. Kemudian pastilah kita akan mendapatkan balasan pahala dari pada-Nya, baik ketika di dunia ini maupun saat menghadap-Nya kelak.

Dari pengalaman kongkrit kedua akhwat ataupun kutipan hadits seperti diuraikan di atas, dengan penuh kayakinan kita dapat menangkap bukti yang dijanjikan Allah SWT dan Rasul-Nya, bahwa sekecil apapun harta yang disedekahkan dengan ikhlas, niscaya akan tampak betapa dahsyat balasan dari-Nya.

Inilah barangkali kenapa Rasulullah menyerukan kepada para sahabatnya yang tengah bersiap pergi menuju medan perang Tabuk, agar mengeluarkan infaq dan sedekah. Apalagi pada saat itu Allah menurunkan ayat tentang sedekah kepada Rasulullah SAW, "Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir; seratus biji Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui," demikian firman-Nya (QS. Al-Baqarah [2] : 261).

Seruan Rasulullah itu disambut seketika oleh Abdurrahman bin Auf dengan menyerahkan empat ribu dirham seraya berkata, "Ya, Rasulullah. Harta milikku hanya delapan ribu dirham. Empat ribu dirham aku tahan untuk diri dan keluargaku, sedangkan empat ribu dirham lagi aku serahkan di jalan Allah."

"Allah memberkahi apa yang engkau tahan dan apa yang engkau berikan," jawab Rasulullah.

Kemudian datang sahabat lainnya, Usman bin Affan. "Ya, Rasulullah. Saya akan melengkapi peralatan dan pakaian bagi mereka yang belum mempunyainya," ujarnya.

Adapun Ali bin Abi Thalib ketika itu hanya memiliki empat dirham. Ia pun segera menyedekahkan satu dirham waktu malam, satu dirham saat siang hari, satu dirham secara terang-terangan, dan satu dirham lagi secara diam-diam.

Mengapa para sahabat begitu antusias dan spontan menyambut seruan Rasulullah tersebut? Ini tiada lain karena yakin akan balasan yang berlipat ganda sebagaimana telah dijanjikan Allah dan Rasul-Nya. Medan perang adalah medan pertaruhan antara hidup dan mati. Kendati begitu para sahabat tidak ada yang mendambakan mati syahid di medan perang, karena mereka yakin apapun yang terjadi pasti akan sangat menguntungkan mereka. Sekiranya gugur di tangan musuh, surga Jannatu na’im telah siap menanti para hamba Allah yang selalu siap berjihad fii sabilillaah. Sedangkan andaikata selamat dapat kembali kepada keluarga pun, pastilah dengan membawa kemenangan bagi Islam, agama yang haq!

Lalu, apa kaitannya dengan memenuhi seruan untuk bersedekah? Sedekah adalah penolak bala, penyubur pahala dan pelipat ganda rizki; sebutir benih menumbuhkan tujuh bulir, yang pada tiap-tiap bulir itu terjurai seratus biji. Artinya, Allah yang Mahakaya akan membalasnya hingga tujuh ratus kali lipat. Masya Allah!

Sahabat, betapa dahsyatnya sedekah yang dikeluarkan di jalan Allah yang disertai dengan hati ikhlas, sampai-sampai Allah sendiri membuat perbandingan, sebagaimana tersurat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, seperti yang dikemukakan di awal tulisan ini.***

Beli Aja, Kasihan...

Oleh Adi J. Mustafa


"'Di... coba lihat, itu yang di depan menawarkan apa...?" Mamah meminta saya untuk memeriksa ketika terdengar seseorang menjajakan sesuatu di depan rumah. Saya pun segera beranjak ke depan, lalu bertanya kepada si bapak di depan, apa yang dijualnya. Setelah itu kembali ke dalam rumah.

"'Mah... Bapak itu menawarkan gula merah."

"Oh, si Bapak yang itu... Beli tiga bungkus," kata Mamah. Mamah sepertinya sudah hapal dengan si bapak penjual itu.

"Mamah, kita kan masih ada gula merah. Kemarin Adi lihat masih ada beberapa bungkus di dapur," ujar saya. Di rumah saya memang memanggil nama diri sendiri ketika bercakap-cakap dengan orang tua.

"Meuli wae, 'Di, deudeuh... Si Bapak keur panas montereng kieu ngider nawar-nawarkeun daganganna. Meureun can aya nu meuli..." Mamah tetap meminta saya membelinya.*)

Akhirnya meskipun saya masih bertanya-tanya dengan cara berpikir Mamah, saya pun ke depan lagi dan membeli tiga bungkus gula seperti Mamah minta. Mamah juga sempat ke depan dan menyapa si bapak penjual gula, sambil menawarkan air untuk minum. Bapak penjual gula berterima kasih, tapi dia memilih segera pergi untuk kembali menjajakan gulanya.

***

Kejadian di atas tertanam kuat pada benak saya. Perlu beberapa lama untuk menyerap dan memahami dorongan kejiwaan apa yang ada di lubuk hati Mamah, untuk membeli barang yang sebetulnya tidak dibutuhkannya. Pembelian yang semata didasarkan pada rasa kasihan kepada penjual itu.

Saya pernah mendengar Mamah di masa anak-anaknya sudah mesti membantu Abah dan Embah (panggilan saya kepada Kakek dan Nenek yang sekarang sudah tiada) dengan berjualan. Barangkali tempaan kehidupan seperti itu termasuk bagian yang membentuk jiwa yang lembut menyayangi orang lain.

Ah... saya jadi malu. Mungkin secara keilmuan saya lebih tahu daripada Mamah tentang arti al-itsar atau mendahulukan orang lain daripada diri sendiri. Satu kondisi puncak seseorang dalam membuktikan persaudaraan dalam keimanan; Barangkali saya lebih tahu juga sifat Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan tak pernah menolak seseorang yang meminta sesuatu kepada beliau. Kalau perlu beliau membantu dengan meminjam dahulu kepada orang lain. Barangkali juga saya lebih hafal ayat "dan barangsiapa dipelihara dari kekikiran jiwanya, maka merekalah orang-orang yang beruntung" (QS. al-Hasyr:9). Akan tetapi hikmah itu rupanya lebih dahulu dimiliki Mamah. Ah... ternyata rasionalitas yang ada di kepala saya amat tipis perbedaannya dengan sikap tidak ber-empati kepada orang lain.

Dan sekarang saya masih terus mendidik jiwa untuk semakin meresapi indahnya bersikap dermawan. Sikap ini juga yang coba saya bagi kepada isteri dan anak-anak. Atau mungkin malah isteri saya yang lebih dahulu menangkap hikmah ini dan saya belajar darinya.

***

Sebuah keluarga, seorang ayah, ibu dan empat orang anak, mampir di sebuah rumah makan pada perjalanan pulang mudik lebaran. Suasana pulang mudik mudah terlihat dari isi mobil mereka. Berbagai oleh-oleh dari orang tua memenuhi mobil mulai peuyeum ketan, opak sampai sekarung beras yang dipanen dari sepetak kecil sawah orang tua.

Di tengah suasana makan nampak seorang bapak tua menghampiri meja makan mereka. Bapak itu membawa wadah besi ukuran satu liter yang biasa dipakai para penjual beras di pasar. Bapak itu pun menawarkan berasnya untuk dibeli, seraya menyebutkan kualitas berasnya bagus dan tidah mahal pula.

"Beras Cianjur asli, Pak...?" tanya ayah empat orang anak itu setelah menghentikan suapan-suapan makannya.

"Sumuhun, Cep...," jawab si bapak membenarkan.

"Gimana 'Bu...?" Si ayah mengalihkan pandangannya kepada isterinya. Si isteri menjawab tatapan mata suaminya dengan penuh pengertian.

"Pak, punten dibungkus lima kilo, nya." Si isteri langsung menyampaikan pesanan pembelian kepada si bapak.

"Hatur nuhun, Neng. Bapak bawa beras dan timbangannya ke sini ya...?" kata bapak penjual beras.

"Teu kedah, Pak. Ditimbang di tempat Bapak aja. Nanti beras yang sudah ditimbangnya dibawa ke sini," giliran si ayah menimpali.

Anak-anak di keluarga itu memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan orang tua mereka. Barangkali di benak mereka ada keheranan, mengapa ayah dan ibu membeli beras, sementara di mobil ada sekarung beras dari kakek mereka...



===

*) "Beli aja, 'Di, kasihan... Si Bapak sedang panas terik begini ke sana ke mari menawar-nawarkan dagangannya. Mungkin belum ada yang beli..."

Bapaknya Anak Yatim

Namanya pak Syarif. Saya mengenal dia ketika kami masih sama-sama mengais rejeki di negeri seberang.. Sosoknya sederhana, bicaranya juga sederhana. Ia seorang tukang rumput perumahan di Brunei Darussalam. Hampir limabelas tahun dia menjalani usaha itu.

Ia tak terikat dengan majikan, tapi usaha jasa sendiri. Sehingga ia agak leluasa bergaul dengan sesama TKI di negri itu. Ia mengontrak rumah sendiri. Satu anaknya sudah sekolah di sana.

Saya rajin silaturrahmi ke kontrakannya. Saya banyak menimba ilmu agama dari dia. Maklum, ia adalah alumni salah satu pesantren di Kediri Jawa Timur. Dan isterinya adalah seorang hafidzah, penghafal Al-Qur’an tiga puluh juz.

Dua tahun lebih saya mengenal dia dan keluarganya. Sebagai keluarga yang biasa-biasa saja. Ketika berbicara tentang Islam pun ia juga biasa. Artinya ia tak punya kesan muluk-muluk. Satu aktifitasnya yang cukup menarik adalah ia mengkoordinir beberapa kawan sesama TKI untuk menyisihkan sebagian rezekinya. Dan setahun sekali, biasanya menjelang Ramadhan, mereka menyumbangkan dana itu ke beberapa pesantren di pulau Jawa.

Satu bulan menjelang kepulangan saya, ada sesuatu yang tiba-tiba menjadi luar biasa di mata saya. Sesuatu yang tak pernah ia ceritakan sebelum ini. “Kalau kamu nanti sudah di tanah air, carikan saya anak yatim ya…”

Terus terang saya kaget. Saya belum pernah bertemu dengan sosok orang yang seperti itu. Sebelum ini, saya sering berjumpa dengan seseorang yang berkaitan erat dengan anak yatim, tapi mereka yang mencari dana untuk menghidupi mereka. Bukan mencari orang untuk dihidupi.

Saya makin penasaran dengan kehidupan dia. Sampai ahirnya ia bercerita tentang pandangan hidupnya selama ini. Ia banyak bercerita kepada saya. Tentang hidup yang ia jalani sekarang ini.

Hasil dari usahanya belasan tahun di negeri seberang ia pergunakan untuk membeli tanah, ladang dan sawah di daerah tempat tinggalnya, di Ngawi, Jawa Timur. Ia juga membeli mesin penggilingan padi dan tahu untuk dikelola saudara-saudaranya.

“Saya mempunyai cita-cita membuat semacam pesantren dan usaha untuk anak yatim. Alhamdulillah, hasil dari sawah, ladang dan usaha peggilingan padi Insya Allah sudah bisa untuk menghidupi seratus lebih anak yatim.”

Allahu Akbar. Saya sepontas memuji kebesaran Allah. Saya sama sekali tak menyangka dari balik sosok yang sangat sederhana dan “ndeso” itu ternyata terdapat tujuan yang sangat mulia. Saat itu juga saya langsung memeluk tubuh dia. Tubuh yang masih berbau keringat karena baru saja selesai bekerja.

“ Aku ingin membangun rumah di sorga,” katanya pada saya.

Maka beberapa waktu lalu, ketika saya dan seorang teman berencana untuk sedikit mengurus beban hidup anak yatim yang terlantar di daerah saya, cepat-cepat saya menghubungi dia. Dengan antusias ia menjawab, “Ya, saya siap membantu.”

Saya sangat senang mendengar jawaban pak Syarif. Mudah-mudahan ini adalah awal dari kami, dalam rangka berbagi dengan saudara-saudara kami yang terlantar, karena tak punya bapak dan ibu.

Adakah dari anda yang juga mau berbuat seperti pak Syarif, yang ingin berperan sebagai bapaknya anak yatim? Insya Allah, saya dan seorang teman, siap menyalurkannya kepada yang berhak.

****
di tulis oleh
Suswoyo

Di Balik Raut Wajah

Kita sering berpapasan dengan orang-orang. Tetapi, pernahkah kita memperhatikan raut wajah mereka lebih dalam, sedikit saja? Saya pernah mencobanya, hanya mencoba melihat sedikit lebih dalam raut wajah orang-orang yang kebetulan berpapasan dengan saya. Sedikit menyelidik, kira-kira ada cerita apa di balik raut wajah mereka?

Ada cerita panjang. Saya yakin itu, ketika pandangan saya mendarat di seraut wajah tirus yang hitam, suatu saat. Dia sedang duduk tanpa ekspresi di atas becaknya. Rambut kritingnya yang sudah hilang separuh di bagian depannya seperti tak sempat lagi ia rapihkan, melengkapi gambaran cerita yang tidak begitu menggairahkan. Semangat untuk menawarkan jasa becaknya pun nyaris tidak ada ketika saya mendekat ke arahnya. Mungkin dia sadar kalau saya memang tidak menunjukkan ingin memakai jasanya, dan dia benar.

Saya tidak kenal siapa abang becak itu, apalagi mengetahui cerita panjang hidupnya. Tetapi saya yakin gurat-gurat pada raut wajahnya adalah gurat-gurat kesusahan. Saya berlalu melewati abang becak yang termenung itu sambil menghadirkan bayangan tentang kehidupannya, kira-kira. Bagaimana dia makan setiap harinya? Bagaimana ia menjadi suami dari isterinya? Cukupkah hasil membecak memenuhi kebutuhan harian keluarganya? Bagaimana ia menyekolahkan anak-anaknya? Lalu, bagaimana ia membimbing isteri yang menjadi tanggung jawabnya? Mengajarkan hal-hal bijak pada anak-anaknya? Wah, panjang sekali… dan saya tak yakin pertanyaan-pertanyaan itu ideal terjawab.

Kalau sudah seperti itu, hanya rasa perihatin yang saya rasakan. Tak lagi mampu berbuat lebih. Terkadang do’a saya terucap, semoga dia memiliki kesabaran yang panjang sehingga kesusahan itu bisa berimbal kebaikan.

Di lain kesempatan saya mencoba melihat sedikit lebih dalam wajah-wajah para pengamen yang hampir setiap hari saya nikmati genjreng petikan gitarnya dan fals suara nyayiannya. Mereka adalah para pemuda usia produktif. Setiap hari berkeliaran di belantara kota Jakarta, bermain gitar dari satu bis ke bis lain. Bernyanyi di antara deretan penumpang yang (mungkin) sedikit lebih beruntung dari mereka.

Lalu, saya mencari gurat wajah mereka yang begitu ekspresif menjiwai lagu yang dinyanyikannya. Bahagiakah mereka dengan apa yang mereka kerjakan? Memang menjadi pengamenkah cita-cita mereka? Apa yang membawa mereka ke dunia seperti itu? Apakah mereka bagian dari anak-anak yang lari kecewa dari kedua orang tuanya yang broken home? Dan seterusnya… tidak hanya khayal yang hadir di kepala saya, rasa haru kemudian menyelimuti hati saya.

Saya yakin, jadi pengamen bukan cita-cita mereka. Kalau mereka begitu menikmati lagu yang dinyanyikan, mungkin itu adalah upaya mereka melupakan kesusahan yang mereka rasakan. Lalu, tanya saya sampai kepada siapa yang bertanggung jawab atas nasib mereka? Sayakah? Wah, saya tidak tahu. Dalam kapasitas apa saya bertanggung jawab atas nasib mereka? Kemudian saya mengingat-ingat siapa yang sebenarnya punya tanggung jawab, maka hadirlah dalam benak saya mereka-mereka yang telah berani mengikrarkan diri untuk menjadi pemimpin bangsa ini. Berani memimpin rakyat negeri ini berarti berani menanggung semua keluh kesah mereka, berarti berani menerima tuntutan mereka ketika mereka melakukan perhitungan, di manapun, dunia atau akhirat.

Astaghfirullah… hanya sedikit lebih dalam saja saya mencoba melihat persoalan di balik wajah-wajah anak negeri ini, telah saya temukan persoalan yang begitu menggunung es. Betapa dekatnya kita dengan permasalahan tetapi begitu jauhnya dari jalan keluar. Dari keprihatinan ke keprihatinan yang lain begitu akrab kita rasakan, tetapi antara kepedulian dengan kepedulian yang lain begitu senjang. Tidak sebanding.

Akhirnya, dari balik raut wajah orang-orang yang kebetulan berpapasan dengan saya, saya temukan sebuah mutiara, mutiara kesadaran. Sadar bahwa bangsa ini sangat membutuhkan penyelamat, sadar bahwa ada yang harus saya lakukan untuk bangsa ini… semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepada saya dan kita semua, anak negeri besar ini! Rabbunâ Yastûr

Kasih seorang ayah …………

Suatu malam, di sebuah stasiun radio, sedang berlangsung acara dimana
orang-orang berbagi pengalaman hidup mereka. Perhatian saya yang semula tercurah pada tugas statistik beralih ketika seorang wanita bercerita tentang ayahnya.
Wanita ini adalah anak tunggal dari sebuah keluarga sederhana yang tinggal dipinggiran kota Jakarta. Sejak kecil ia sering dimarahi oleh ayahnya. Di mata sang ayah, tak satupun yang dikerjakan olehnya benar.

Setiap hari ia berusaha keras untuk melakukan segala sesuatu sesuai dengan
keinginan ayahnya, namun tetap saja hanya ketidakpuasan sang ayah yang ia
dapatkan. Pada waktu ia berumur 17 tahun, tak sepatah ucapan selamat pun
yang keluar dari mulut ayahnya. Hal ini membuat wanita itu semakin membenci
ayahnya.
Sosok ayah yang melekat dalam dirinya adalah sosok yang pemarah dan tidak
memperhatikan dirinya. Akhirnya ia memberontak dan tak pernah satu hari
pun ia lewati tanpa bertengkar dengan ayahnya.

Beberapa hari setelah ulang tahun yang ke-17, ayah wanita itu meninggal
dunia akibat penyakit kanker yang tak pernah ia ceritakan kepada siapapun
kecuali pada istrinya. Walaupun merasa sedih dan kehilangan, namun di dalam
diri wanita itu masih tersimpan rasa benci terhadap ayahnya.

Suatu hari ketika membantu ibunya membereskan barang-barang peninggalan
almarhum, ia menemukan sebuah bingkisan yang dibungkus dengan rapi dan di
atasnya tertulis "Untuk Anakku Tersayang".
Dengan hati-hati diambilnya bingkisan tersebut dan mulai membukanya. Di
dalamnya terdapat sebuah jam tangan dan sebuah buku yang telah lama ia
idam-idamkan. Di samping kedua benda itu, terdapat sebuah kartu ucapan berwarna merah muda, warna kesukaannya. Perlahan ia membuka kartu tersebut dan mulai membaca tulisan yang ada di dalamnya, yang ia kenali betul sebagai tulisan tangan ayahnya.

Ya Allah,

SubhanAllah,Terima kasih karena Engkau mempercayai diriku yang rendah ini
Untuk memperoleh karunia terbesar dalam hidupku

Kumohon Ya Allah,
Jadikan buah kasih hambaMu ini

Orang yang berarti bagi sesamanya dan bagiMu
Jangan kau berikan jalan yang lurus dan luas membentang
Berikan pula jalan yang penuh liku dan duri
Agar ia dapat meresapi kehidupan dengan seutuhnya

Sekali lagi kumohon Ya Allah,
Sertailah anakku dalam setiap langkah yang ia tempuh
Jadikan ia sesuai dengan kehendakMu

Selamat ulang tahun anakku
Doa ayah selalu menyertaimu
"Dari Ayah yang Selalu Menyayangimu, sayang"
Meledaklah tangis sang anak usai membaca tulisan yang terdapat dalam kartu
tersebut. Ibunya menghampiri dan menanyakan apa yang terjadi. Dalam
pelukan ibunya, ia menceritakan semua tentang bingkisan dan tulisan yang terdapat dalam kartu ulang tahunnya. Ibu wanita itu akhirnya menceritakan bahwa ayahnya memang sengaja merahasiakan penyakitnya dan mendidik anaknya dengan keras agar sang anak menjadi wanita yang kuat, tegar dan tidak terlalu kehilangan sosok ayahnya
ketika ajal menjemput akibat penyakit yang diderita........

Pada akhir acara, wanita itu mengingatkan para pemirsa agar tidak selalu
melihat apa yang kita lihat dengan kedua mata kita. Lihatlah juga segala sesuatu dengan mata hati kita. Apa yang kita lihat dengan kedua mata kita terkadang tidak sepenuhnya seperti apa yang sebenarnya terjadi.

"Kasih seorang ayah, seorang ibu, saudara-saudara, orang-orang di sekitar
kita, dan terutama kasih Allah dilimpahkan pada kita dengan berbagai cara.
Sekarang tinggal bagaimana kita menerima, menyerap, mengartikan dan membalas KASIH YANG SEBENARNYA..............." kata wanita tersebut menutup acara pada malam hari itu.

***
Sampai Sekarang Saya punya keingingan yg belum tersampaikan, yaitu Memeluk Erat serta mencium Kening Ayah saya. Dalam Munajad malam hari, sering kali jatuh air mata saya tuk sebuah penyesalan KeEgoisan saya yg tinggi, dan kelemahan hati sehingga tidak sanggup tuk melakukan hal itu. Saya Akan melakukan Apa saja, hanya untuk mendapatkan kesempatan SATU KALI untuk Memeluk Erat, Mencium Kening dan Bersimpuh Kepada Beliau, Sang Ayah. Kalo diijinkan, saya ingin mengingatkan bila anda masih mempunyai Ayah, Cobalah Sekali Waktu untuk memeluknya sepenuh
hati dan mencium keningnya sepenuh jiwa... sebelum ada penyesalan

Bunga Untuk Ibu

Ibu pernah memintaku membersihkan lantai sesaat setelah aku menumpahkan bubur saat sarapan pagi. Tapi, bukan sapu atau kain lap pel yang kuambil ke belakang, karena aku malah berlari keluar melalaui pintu belakang untuk menyusul teman-teman bermain. Hal yang hampir sama juga kulakukan, saat ibu berharap aku menyapu halaman bekas aku dan teman-teman bermain dan mengotori halaman dengan sobekan kertas. Meski beberapa teman melirikkan matanya agar aku segera menuruti ibu, tapi yang kulakukan justru tak menggubris perintahnya dan selekas mungkin mengajak teman-teman bermain di tempat lain.
Pernah satu kali, ibu memanggilku saat aku belajar. Dengan alasan "sedang belajar" aku tak mengindahkan panggilannya, meski entah sudah hitungan keberapa namaku disebutnya. Dan jika, dalam kondisi tak sabar setelah berkali-kali aku tak juga menyahut, ibu menghampiri ke kamarku, segera aku berpura-pura tertidur dengan buku yang masih dalam dekapan. Itu kulakukan, karena aku malas keluar rumah untuk membelikan barang belanjaan ibu di warung depan gang yang hanya berjarak tidak lebih 20 meter.
Diwaktu lain, ibu berpesan agar aku segera pulang setelah pulang sekolah. Namun seperti biasa, aku selalu mampir ke tempat-tempat biasa aku bermain, dan mengatakan kepada ibu bahwa terlalu banyak aktifitas di sekolah yang harus aku ikuti, demi memperkaya pengalaman dan ketrampilan. Sesekali, aku juga mengelabui ibu dengan tuntutan uang ini-itu dari sekolah yang wajib dibayar selain uang SPP. Kupikir, mungkin ibuku bodoh sehingga selalu mempercayai setiap permintaan uang tersebut yang sesungguhnya selalu kugunakan untuk mentraktir teman-temanku, sekedar untuk menunjukkan kelas sosial dan 'sogokan' agar aku bisa diterima oleh teman-teman. Meski setelah itu kuketahui, bahwa tidak jarang ibu berhutang untuk menutupi semua 'biaya' itu berharap agar aku bisa menjadi anak yang cerdas, trampil dan bisa diandalkan, aku masih tetap tak menyesal.
Disuatu hari minggu, saat aku tak sekolah, dan tak ada kegiatan apapun diluar rumah. Ibu memintaku mengantarkannya ke pasar karena hari itu akan ada acara keluarga di rumah, yang karena itu ibu harus belanja lebih banyak dari biasanya. Segera otakku berputar mencari-cari alasan agar aku bisa "bebas" dari tanggungjawab itu. Akhirnya, kuberbohong kepada ibu dengan mengatakan bahwa di sekolah ada kegiatan ekstrakurikuler yang "wajib" diikuti oleh semua siswa. Niat berangkat ke sekolah, aku justru nongkrong di Mall, bertemu dengan teman-teman sepermainanku yang -bisa jadi- kebanyakan juga lari dari tanggungjawab membantu orang tua di hari libur.
Kemarin, ibu berharap aku mau membantunya melakukan beberapa pekerjaan rumah yang lumayan berat karena ibu saat itu tak sanggup melakukan semuanya. Ibuku tengah sakit. Tapi aku malah tak mempedulikannya, karena kupikir tak semestinya aku melakukan semua tugas rumah tangga itu. Akhirnya, dalam keadaan sakit, dengan nafas yang tersengal, ibu sendiri yang mengerjakannya, sementara aku tetap asik dengan urusan dan mainanku.
Hari ini, ada sekuntum bunga persembahan dariku yang pasti tak ada harganya dari semua pengorbanan ibu. Tak membalas semua cintanya, tak membayar jerihnya, tak menghilangkan semua luka dan kecewanya, tak meringankan bebannya, tak menghentikan tangisnya, tak membasuh setitikpun peluhnya, bahkan tak menyembuhkan sakitnya, apalagi mengembalikan ibu kepadaku. Karena ibu, yang penuh cinta dan kasih terhadap anaknya ini, kini terbujur lurus dihadapanku. Kupikir, karena aku tak mencintainya dengan segala perilaku burukku terhadap ibu, Allah lebih mencintainya dan mengambilnya dariku. Maafkan aku ibu. Kuharap ibu tahu, bunga cintaku tak pernah luruh. Wallahu 'a'lam bishshowaab
(Bayu Gautama, Untuk seorang sahabat, kuyakin ia melihatmu menangis)

Bu, Suaramu adalah Cinta

Hanya ingin..kunyanyikan
senandung dari hatiku untuk Mama
Hanya sebuah lagu sederhana
Lagu cintaku, untuk Mama
Lagu anak-anak, kenny

Kemarin, bertemu ibu lagi. Duh senangnya bisa memandang wajah syahdu itu. Alangkah bahagia tak terkira menuntaskan kerinduan menikmati binar matanya. Ia merengkuh saya, hangat dan erat. Salam yang saya sampaikan ketika membuka pintu, tak berjawab. Ibu hanya mengangguk dengan senyuman mengembang karena senang.
“Ibu, apa kabar???” kalimat pertama yang selalu saya singgahkan kepadanya setiap kali pulang. Ibu tak juga bersuara, ia malah sibuk meneliti tas saya, adakah bacaan yang saya bawa untuknya. Majalah tarbawi baru, segera saja beralih ke tangannya. Sejenak ia ke mushola, mengambil kacamata dari atas Al-qur’an yang tengah terbuka. Ia kembali ke samping saya dan kemudian tenggelam dalam samudera aksara. Setengah termenung, saya memandangnya. Dih Ibu, emang enak dicuekin.
Saya faham, mengapa Ibu menjadi pendiam dan tak banyak bersuara. Rupanya batuk yang diderita selama beberapa hari ini, merampas suaranya untuk bertutur. Saya sampai tak tega mendengar parau tak terdengarnya ketika ia meminta saya menjadi imam shalat maghrib dan isya. Seraknya yang parah terdengar seperti desis aneh, mungkin Ibu juga tak suka mendengarnya. Makanya ia memilih memberi kode menangkupkan kedua tangan dan menempelkannya di pipi kiri sebagai isyarat hendak menjumpai peraduan.
Akhirnya dua hari bersamanya, saya tak dapat mengobrol dengannya, kecuali satu arah. Ibu sungguh-sungguh diam.
Selalu ada yang berubah ketika pulang dan menjumpainya. Ibu tak sebugar dulu, tentu saja karena ia dilahap renta usia. Tangannya sekarang gemetar untuk saat-saat tertentu. Tubuhnya kian kerontang karena nafsu makan yang seringkali menurun. Lingkaran-lingkaran putih itu terlihat jelas di manik kedua matanya yang katanya sulit terpejam ketika malam menjelang. Belum lagi kerut merut yang mengukir wajah ayunya. Jika berjalan, langkahnya tak seperkasa dulu, hingga saya harus berlari-lari mensejajarinya. Dan sekarang, saya mendapatinya tanpa suara. Rabbi.. Engkau sebaik-baik pemberi kesehatan.
Suara Ibu bagus. Ia bercerita, ketika saya sudah mampu berbicara, ia paling suka mengajari saya menyanyi. Ia mengajak saya bergembira dengan menyanyi. Ia menyemangati saya juga lewat alunan suara merdunya. Waktu duduk di bangku SD kelas satu, saya terkena liver hingga sebulan tidak masuk kelas, rapor saya jeblok. Di teras depan rumah, ketika melihat saya bersedih, suaranya begitu dekat di telinga. Ia merengkuh saya dan bernyanyi:
Jangan putus asa
Itulah semboyan kita
Maju terus maju
Jangan goncang atau bimbang
Kukuhkan hatimu, capailah niatmu
Kerahkan semua tenaga
Jangan goncang atau bimbang
Saya tidak akan pernah lupa senandung-senandung itu, berharap bisa meneruskannya untuk anak-anak saya kelak. Ada lagu yang paling saya suka :
Jika aku sudah besar nanti
Ku pergi dengan ibu
Ibu boleh pilih sendiri, kemana yang dituju
Jika Ibu pilih Jogya, Bandung dan Semarang
Aku yang beli karcisnya
Karcis kapal terbang
Tak sengaja pada waktu berkumpul setelah lebaran idul fitri kemarin, saya mengajak teteh-teteh dan Ibu ‘konser’ bersama. Hampir bersepuluh kami menyanyi, mendendangkan sebuah lagu yang menjadi favorit kami sewaktu masih kecil dulu. Denting dawai gitar yang saya petik menambah kesan ‘indah’ itu :
Di matamu mama ada bintang
Gemerlapan bila ku pandang
Di matamu mama ada kasih sayang
Yang selalu bersinar tak pernah pudar
Di matamu mama ada kasih sayang
Yang selalu bersinar terang
Entah mengapa, Ibu tak ikut menyanyi. Ia malah sibuk memperhatikan kami satu persatu dan berkata hampir tak terdengar “Ehm, jangan bikin Ibu sedih atuh”.
Ah Ibu, rindu kudengar senandung cinta itu lagi. Suaramu adalah cinta, karena setiap tuturmu selalu saja bermakna. Seingat saya, ia tidak pernah marah dengan kata-kata yang kasar terhadap anak-anaknya, sejengkel apapun perasaanya. Suaranya paling terdengar tajam. Suatu saat Ibu memperingatkan kakak saya yang telah memarahi anaknya tanpa ampun. “Geulis, kata-kata seorang ibu adalah bertuah, berhati-hatilah. Ucapan seorang ibu adalah doa, jadi ucapkanlah yang baik-baik”.
Ah, Ibu, sungguh tidak nyaman ketika suaramu tak terdengar memenuhi udara, meski sosokmu begitu dekat. Bu, saya tak bisa menikmati dengan sempurna keindahan kebersamaan kemarin, meski tak berkurang eratnya rengkuhanmu, meski engkau masih melabuhkan tanganmu untuk membangunkan diri yang ditelan lelap. Sungguh, saya merasa sendiri kemarin meski kehadiranmu nyata, karena mungkin sapamu terbatas, kata-kata bijak itu tak lagi ada dan kau tak lagi bercerita tentang apapun.
Ah, bu, setelah sembuh, saya pasti mendengar lagi suara itu, sapamu, tuturmu, kata-kata bijakmu bahkan mungkin senandung cinta ketika kita ‘konser’ bersama.
Ah, bu segalanya tentangmu adalah cinta, meski itu hanya suara.
Dan saya tak bisa membayangkan, jika suara mu menghilang untuk seterusnya, karena sebuah takdir yang pasti kedatangannya.
Allahu Rabbii, anugerahkan untuk ummi kesehatan yang barakah.

Anugerah Terindah Milik Kita

Author: Abu Aufa

Ringkih dan renta karena ditelan usia, namun tampak
tegar dan bahagia. Ikhlas, memancarkan selaksa cinta
penuh makna yang membias dari guratan keriput di
wajah. Tiada yang berubah sejak saat dalam buaian,
hingga sekarang mahkota putih tampak anggun
menghiasinya. Dekapannya pun tak berubah, luruh
memberikan kenyamanan dan kehangatan.

Jemari itu memang tak lagi lentik, namun selalu fasih
menyulam kata pinta, membaluri sekujur tubuh dengan
do'a-do'a. Kaki tampak payah, tak mampu menopang
tubuhnya. Telapak tempat surga itu pun penuh bekas
darah bernanah, simbol perjuangan menapak sulitnya
kehidupan.

Ibunda...
Adakah saat ini kita terenyuh mengenangkannya? Ia
adalah sebuah anugerah terindah yang dimiliki setiap
manusia. Sejak dalam rahim, betapa cinta itu tak
putus-putusnya mengalirkan kasih yang tak bertepi.
Hingga kerelaan, keikhlasan dan kesabaran selama 9
bulan pun bagai menuai pahala seorang prajurit yang
sedang berpuasa, namun tetap berperang di jalan Allah
Subhanahu wa Ta'ala.

Polesannya adalah warna dasar pada diri kita.
Menggores sebuah kanvas putih nan suci, hingga
tercipta lukisan Yahudi, Musyrik atau Nasrani. Namun,
goresan yang diselimuti untaian ayat suci Al Qur'an,
zikir, tasbih serta tahmid, tentu akan melahirkan
syakhsiyah Islamiyah (kepribadian Islam) pada jiwa.
Ibunda pun berharap tercipta jundullah (tentara Allah)
dari sebuah madrasah keluarga.

Selaksa cinta ibunda yang dibaluri tsaqofah Islamiyah
(wawasan keislaman) telah menyemai banyak pahlawan
Islam. Teladan Asma' binti Abu Bakar Ash-Shidiq
melahirkan pahlawan Abdullah bin Zubair, yang dengan
cintanya masih berdoa agar dirinya tidak mati sebelum
mengurus jenazah anaknya yang disalib Hajaj bin Yusuf,
antek Bani Umaiyah. Polesan warna seorang ibunda, Al
Khansa, melahirkan putra-putra kebanggaan Islam yang
berani dan luhur akhlaqnya, hingga satu persatu syahid
pada perang Qodisyiah. Di sela kesedihannya, ibunda
masih berucap, "Alhamdulillah... Allah telah
mengutamakan dan memberikan karunia padaku dengan
kematian anak-anakku sebagai syuhada. Aku berharap
semoga Allah mengumpulkan aku dengan mereka dalam
rahmat-Nya kelak."

Banyak... sungguh teramat banyak cinta ibunda yang
melahirkan kisah-kisah teladan. Yatim seorang anak pun
tidaklah menghalangi ibunda untuk merangkai sejarah
dengan tinta emas, terbukti dengan mekar harumnya para
mujtahid Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i, Imam Ahmad
bin Hambal serta Imam Bukhari. Didikan ibunda mereka
telah mampu mendidiknya hingga menjadi anak-anak yang
gemar menuntut ilmu tanpa kenal lelah, bahkan mandiri
dalam kemiskinan.

Kita mungkin dilahirkan dari rahim seorang perempuan
biasa. Bahkan kita pun tidak dilahirkan untuk menjadi
seorang pahlawan. Namun, ibunda kita dan mereka adalah
sama, sebuah anugerah terindah dari Allah Subhanahu wa
Ta'ala.

Saat dewasa, tapak kaki telah kuat menjejak tanah dan
tangan pun terkepal ke angkasa, masihkah selalu ingat
ibunda? Cita-cita telah tergenggam di tangan,
popularitas, kemewahan hingga dunia pun telah takluk
menyerah kalah, tunduk karena ketekunan, jerih payah
serta kerja keras tiada hentinya. Haruskah sombong dan
angkuh hingga kata-kata menyakitkan begitu gampang
terlontar?

Duhai jiwa, sekiranya engkau sadar bahwa tanpa do'a
ibunda, niscaya semua masih angan-angan belaka.
Astaghfirullah... ampuni diri ini ya Allah.

Duhai ibunda...
Maafkan jika mata ini pernah sinis memandang, dan
lidah yang pernah terucap kata makian hingga membuat
luka hatimu. Maafkanlah pula kalau kesibukan
menghalangi untaian do'a terhatur untukmu. Ampuni diri
ananda yang tak pernah bisa membahagiakanmu, ibunda.

Sungguh, jiwa dan jasad ini ingin terbang ke angkasa
lalu luruh di pangkuan, mendekap tubuh sepuh, serta
menangis di pangkuanmu. Hingga terhapuskan kerinduan
dalam riak anak-anak sungai di ujung mata. Rengkuhlah
ananda dengan belai kasih sayangmu bagai masa kecil
dulu. Mengenangkan indahnya setiap detik dalam rahimmu
dan hangatnya dekapanmu. Buailah dengan do'a-do'a
hingga ananda pun lelap tertidur di sampingmu.

Duhai ibunda...
Keindahan dunia tak akan tergantikan dengan keindahan
dirimu.
Sorak-sorai pesona dunia pun tak dapat menggantikan
gemuruh haru detak jantung saat engkau memelukku.
Indah... semua begitu indah dalam alunan cintamu,
menelisik lembut, membasahi lorong hati dan jiwa yang
rindu kasih sayangmu.

Duhai ibunda...
Bukakanlah pintu ridhomu, hingga Allah pun meridhoiku.

Wallahua'lam bi showab.

*IKATLAH ILMU DENGAN MENULISKANNYA*
Al-Hubb Fillah wa Lillah,

Abu Aufa
(Tanpa sadar menitikkan airmata saat menulis tausyiah ini)

Dia Ingin Menyaksikan Kebahagiaan itu

Oleh Indah Prihanande


Ungkapan apa lagi yang harus saya katakan untuk menggambarkan kehalusan budi hati lelaki ini. Pinjaman yang dinantikannya senilai 10 juta tidak dikabulkan seluruhnya oleh kantornya. Rencananya uang sebesar itu akan digunakan untuk memulai usaha ternak ikan di kampung halamannya. Sudah sangat lama dia memimpikan hal tersebut. Berharap bisa meretas kebaikan agar bisa memberdayakan ekonomi sekitar. Tipenya yang pembelajar secara otodidak, sabar, telaten dan tekun membuat mimpinya terus ada dan kadang meletup-letup agar bisa berbuat kebaikan sesegera mungkin. Namun sayang, pinjaman yang dijanjikan tersebut hanya dicairkan senilai 6,5 juta saja. Jika dihitung-hitung dengan biaya keseluruhan maka tidak akan cukup memadai.

Di samping itu, kini dia tengah menunggu penjualan mesin. Mesin tersebut dikerjakannya dengan menyertakan dua orang temannya. Dia jelas sanggup membereskan pekerjaan itu sendirian, karena dialah yang men-supervisi seluruh tim mekaniknya selama ini. Biar, supaya bisa bagi-bagi rejeki. Kasihan supaya teman yang lain juga bisa menikmatinya. Lagi pula mereka setuju jika dibayar setelah mesin ini terjual. Itulah alasan yang diberikannya ketika secara ekonomis saya menilai lebih enak jika semua dikerjakan sendirian saja. Tidak harus membayar tenaga kerja lagi. Saya bisa memahami maksud yang ada di hati dan benaknya. Hal apa lagi selain dia memang begitu tersentuh akan nasib teman-teman setimnya yang mempunyai gaji hanya cukup untuk biaya makan keluarga sebulan saja.

Mesin rakitan itu belum terjual sampai hari ini. Padahal dia berharap bisa memberikan ongkos kerja sebelum Idul Fitri, agar mereka bisa menikmatinya untuk hari raya kelak. Saya sudah bisa menduga apa yang akan dilakukannya. Ternyata benar! Uang pinjaman yang semula akan digunakan untuk usaha sampingannya, kini sudah dipotong dua juta rupiah untuk pembayaran dua orang rekan kerjanya tersebut. Bayaran yang sungguh sangat besar jika dibandingkan dengan harga normal pada umumnya. “Saya senang, teman saya bahagia menerima uang tersebut. Dan saya merasa ada jalinan kebersamaan yang lebih erat ketika saya menyaksikan kebahagiaannya.” Begitu dia menggambarkan rasa gembiranya di hadapan saya. Dalam detik itu juga, rasa itu menulari hati saya. Menjadikan aliran darah saya begitu hangat merayapi setiap ruas syaraf.

Setelah itu, senilai satu juta rupiah dianggarkannya untuk membiayai kegiatan penerbitan majalah saku Islami yang dikelola oleh sekelompok anak muda kreatif. Dia berharap semoga bisa sedikit membantu ongkos produksi proyek idealis tersebut. Uang satu juta itu kini berpindah ke tangan saya, saya diamanahi agar segera memberikannya kepada yang bersangkutan.

Sungguh, sayapun sangat bersyukur akan apa yang dilakukannya. Dia telah menghipnotis saya kembali dengan segala langkah yang dilakukannya. Membuat saya bertambah kagum dan hormat kepadanya. Adakah yang lebih bernilai selain memiliki suami seperti itu. Menjadi permata yang memancar setiap saat di hati saya. Inilah kebahagiaan yang membuat saya sungguh merasa nyaman dan damai dalam mengarungi rumah tangga ini.

Semoga saja dengan modal sisa yang telah berkurang hampir separuhnya itu bisa menjadi awal dari usaha yang barokah. Moga dengan keterbatasan itu Allah menunjukan langkah yang terbaik akan hal apa yang harus dilakukannya agar cita-citanya tercapai.


jadilah tetap seperti itu.

Beli Aja, Kasihan...

Oleh Adi J. Mustafa
13 Okt 06 08:18 WIB

"'Di... coba lihat, itu yang di depan menawarkan apa...?" Mamah meminta saya untuk memeriksa ketika terdengar seseorang menjajakan sesuatu di depan rumah. Saya pun segera beranjak ke depan, lalu bertanya kepada si bapak di depan, apa yang dijualnya. Setelah itu kembali ke dalam rumah.

"'Mah... Bapak itu menawarkan gula merah."

"Oh, si Bapak yang itu... Beli tiga bungkus," kata Mamah. Mamah sepertinya sudah hapal dengan si bapak penjual itu.

"Mamah, kita kan masih ada gula merah. Kemarin Adi lihat masih ada beberapa bungkus di dapur," ujar saya. Di rumah saya memang memanggil nama diri sendiri ketika bercakap-cakap dengan orang tua.

"Meuli wae, 'Di, deudeuh... Si Bapak keur panas montereng kieu ngider nawar-nawarkeun daganganna. Meureun can aya nu meuli..." Mamah tetap meminta saya membelinya.*)

Akhirnya meskipun saya masih bertanya-tanya dengan cara berpikir Mamah, saya pun ke depan lagi dan membeli tiga bungkus gula seperti Mamah minta. Mamah juga sempat ke depan dan menyapa si bapak penjual gula, sambil menawarkan air untuk minum. Bapak penjual gula berterima kasih, tapi dia memilih segera pergi untuk kembali menjajakan gulanya.

***

Kejadian di atas tertanam kuat pada benak saya. Perlu beberapa lama untuk menyerap dan memahami dorongan kejiwaan apa yang ada di lubuk hati Mamah, untuk membeli barang yang sebetulnya tidak dibutuhkannya. Pembelian yang semata didasarkan pada rasa kasihan kepada penjual itu.

Saya pernah mendengar Mamah di masa anak-anaknya sudah mesti membantu Abah dan Embah (panggilan saya kepada Kakek dan Nenek yang sekarang sudah tiada) dengan berjualan. Barangkali tempaan kehidupan seperti itu termasuk bagian yang membentuk jiwa yang lembut menyayangi orang lain.

Ah... saya jadi malu. Mungkin secara keilmuan saya lebih tahu daripada Mamah tentang arti al-itsar atau mendahulukan orang lain daripada diri sendiri. Satu kondisi puncak seseorang dalam membuktikan persaudaraan dalam keimanan; Barangkali saya lebih tahu juga sifat Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan tak pernah menolak seseorang yang meminta sesuatu kepada beliau. Kalau perlu beliau membantu dengan meminjam dahulu kepada orang lain. Barangkali juga saya lebih hafal ayat "dan barangsiapa dipelihara dari kekikiran jiwanya, maka merekalah orang-orang yang beruntung" (QS. al-Hasyr:9). Akan tetapi hikmah itu rupanya lebih dahulu dimiliki Mamah. Ah... ternyata rasionalitas yang ada di kepala saya amat tipis perbedaannya dengan sikap tidak ber-empati kepada orang lain.

Dan sekarang saya masih terus mendidik jiwa untuk semakin meresapi indahnya bersikap dermawan. Sikap ini juga yang coba saya bagi kepada isteri dan anak-anak. Atau mungkin malah isteri saya yang lebih dahulu menangkap hikmah ini dan saya belajar darinya.

***

Sebuah keluarga, seorang ayah, ibu dan empat orang anak, mampir di sebuah rumah makan pada perjalanan pulang mudik lebaran. Suasana pulang mudik mudah terlihat dari isi mobil mereka. Berbagai oleh-oleh dari orang tua memenuhi mobil mulai peuyeum ketan, opak sampai sekarung beras yang dipanen dari sepetak kecil sawah orang tua.

Di tengah suasana makan nampak seorang bapak tua menghampiri meja makan mereka. Bapak itu membawa wadah besi ukuran satu liter yang biasa dipakai para penjual beras di pasar. Bapak itu pun menawarkan berasnya untuk dibeli, seraya menyebutkan kualitas berasnya bagus dan tidah mahal pula.

"Beras Cianjur asli, Pak...?" tanya ayah empat orang anak itu setelah menghentikan suapan-suapan makannya.

"Sumuhun, Cep...," jawab si bapak membenarkan.

"Gimana 'Bu...?" Si ayah mengalihkan pandangannya kepada isterinya. Si isteri menjawab tatapan mata suaminya dengan penuh pengertian.

"Pak, punten dibungkus lima kilo, nya." Si isteri langsung menyampaikan pesanan pembelian kepada si bapak.

"Hatur nuhun, Neng. Bapak bawa beras dan timbangannya ke sini ya...?" kata bapak penjual beras.

"Teu kedah, Pak. Ditimbang di tempat Bapak aja. Nanti beras yang sudah ditimbangnya dibawa ke sini," giliran si ayah menimpali.

Anak-anak di keluarga itu memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan orang tua mereka. Barangkali di benak mereka ada keheranan, mengapa ayah dan ibu membeli beras, sementara di mobil ada sekarung beras dari kakek mereka...



===

*) "Beli aja, 'Di, kasihan... Si Bapak sedang panas terik begini ke sana ke mari menawar-nawarkan dagangannya. Mungkin belum ada yang beli..."

Arti Cinta Seorang Ayah

Jalan tol Cipularang terlihat sepi. Arus lalus lintas di jalan tol yang menghubungkan Jakarta-Bandung ini dalam kondisi yang lancar-lancar saja. Tidak terlihat ada kemacetan atau antrian panjang mobil-mobil berplat D atau B. Jam handphone saya baru menunjukkan sekitar pukul delapan pagi. Udara pagi di sekitar jalanan tol Cipularang cukup dingin. Entahlah, apakah ini hanya perasaan suhu tubuh saya saja atau pada saat itu udara di sekitar jalan tol Cipularang memang dingin.

Bus pariwisata yang membawa rombongan kantor saya terlihat lengang. Maklum, sebagian besar penumpang bis memanfaatkan waktu perjalanan Bandung-Jakarta yang memakan waktu kurang lebih 2,5 jam untuk tidur dan melepas penat. Ada sekitar tigapuluhan orang yang berada di dalam bus pariwisata itu. Sebagian besar adalah orang Jepang dan Cina. Kami hanya berdelapan dari Indonesia. Dua orang atasan saya dan dua orang rekan kerja saya. Satu orang tour leader. Satu orang sopir bus pariwisata dan satu orang lagi adalah kernet bus. Hari itu, kami bersama rombongan akan berangkat ke Yogya. Acara ke Yogya merupakan rangkaian akhir acara seminar internasional yang telah diselenggarakan di Bandung selama tiga hari sebelumnya.

Di sebelah saya adalah atasan saya yang satu bidang dengan saya di kantor. Seorang bapak yang berusia kurang lebih limapuluhan dan mempunyai tiga orang anak putri. Setelah selama lima belas tahun berdiam di negeri Paman Sam, baru pada tahun 2000 beliau kembali ke Indonesia. Karena itu karakter beliau lumayan berbeda dengan orang Indonesia pada umumnya. Termasuk, gaya kepemimpinan beliau. Namun, saya suka dengan gaya kepemimpinan beliau. Beliau tidak segan dan tidak pula malu untuk memuji langsung bawahannya. Begitu pula dengan cara beliau menyampaikan kritikan dan teguran. Beliau juga senantiasa meluangkan waktu untuk sholat Dzuhur dan Ashar berjamaah di masjid kantor, walaupun beliau harus menuruni deretan anak tangga dari lantai empat, tempat ruangan beliau berada, menuju masjid kantor yang berada di seberang kantor kami. Baru itu yang saya tahu tentang beliau, maklum saya masih berstatus sebagai staf baru di lingkungan kantor. Baru sekitar tiga bulan saya bekerja di lembaga pemerintah ini.

Awalnya, ada sepi antara saya dan beliau. Beliau sedang menyelesaikan buku bacaannya yang lumayan tebal. Sebuah buku yang bercerita tentang rezim kepemimpinan Soeharto dalam sudut pandang orang luar negeri. Saya lebih memilih untuk mengistirahatkan mata saya. Ada kepenatan yang terasa sangat di kepala saya. Tiga hari kemarin, energi saya benar-benar tercurahkan sebagai panitia di seminar internasional itu.

Entah kenapa, mungkin karena beliau sedang jenuh membaca dan saya juga sudah merasa cukup beristirahat, akhirnya tercipta kata antara saya dan beliau. Awalnya saya bertanya kepada beliau, mengapa beliau memilih negeri Paman Sam untuk melanjutkan pendidikan master dan doktor beliau. Dengan senang hati, beliau menjelaskan alasan-alasan yang melatarbelakangi beliau melanjutkan pendidikan S2 dan S3-nya di negeri Bush itu. Tidak hanya itu, beliau juga dengan gamblang menceritakan pengalaman-pengalaman beliau selama limabelas tahun berada di Amerika Serikat. Bukan hanya pengalaman bersekolah, tetapi juga pengalaman beliau bekerja di Amerika Serikat.

Dan, akhirnya saya bertanya, “Mengapa Bapak balik ke Indonesia?” Tidak ada maksud lain dari pertanyaan saya ini. Dari cerita beliau, saya bisa menyimpulkan beliau sudah dipandang sebagai seorang peneliti dan pengajar yang diakui di Amerika Serikat sana. Dan mungkin, dari sisi materi beliau akan mendapatkan income yang lebih dibandingkan dengan status beliau sebagai seorang peneliti di Indonesia. Apalagi, di negeri kita, status peneliti bukanlah sebuah status yang mempunyai prestise.

“Ada hal yang sangat penting yang mendasari saya untuk segera balik ke Indonesia pada tahun 2000 itu,” begitulah kira-kira awal beliau bercerita.
“Masalah akidah anak saya yang tertua,” lanjut beliau kemudian Saya terdiam mendengar jawaban beliau.

“Waktu itu, anak saya yang paling tua masih duduk di kelas 2 SMP. Ketika di Amerika, saya membiasakan keluarga saya untuk sholat berjamaah ketika waktu Maghrib. Suatu hari, ketika saya mengajak dia untuk menunaikan sholat Maghrib, dia bertanya: Dad, why should I pray?Why should I believe the God? Saya benar-benar kaget ketika anak saya bertanya seperti itu, Fet. Saya hanya bisa terdiam. Dan waku itu, saya hanya bisa menjawab: Ok, now I can’t answer your question but next time I will explain you why we should believe our God dan why we should pray. Kemudian saya bertanya kepadanya: Why do you ask to me like that? Mau tahu jawabannya, Fet? Dia menjawab: I don’t know, Dad. That is just in my mind. Saya benar-benar gak menyangka kalau anak saya akan bertanya seperti itu. Saya sudah merasa membekali anak-anak saya dengan pemahaman yang benar tentang agama Islam. Tapi ternyata, saya salah.”

Saya melihat beliau beberapa kali meneguk air mineral ketika bercerita tentang hal itu. Mungkin, itu cara beliau untuk menenangkan gundah di hati ketika mengenang peristiwa yang terjadi sekitar delapan tahun yang lalu. Dan mungkin, peristiwa itu masih menyisakan trauma di hati beliau.

“Waktu itu, saya berdiskusi dengan isteri saya. Saya dan isteri memutuskan untuk segera kembali ke Indonesia untuk menyelamatkan akidah anak saya. Tapi, saat itu, kami tidak bisa langsung kembali ke Indonesia karena anak saya masih duduk di kelas 2 SMP. Dia harus tamat SMP dulu, supaya bisa melanjutkan SMA di Indoensia. Jadilah, waktu sekitar satu tahun itu saya manfaatkan untuk mencari jawaban atas pertanyaan anak saya. Alhamdulillah, Allah mempertemukan saya dengan seorang mualaf yang juga mempunyai problem yang sama dengan saya. Anaknya juga bertanya sama seperti anak saya bertanya. Saya dibekali sebuah buku yang berjudul “If the Angle Ask”. Di buku itulah, saya menemukan jawaban atas pertanyaan anak saya,” lanjut beliau kembali.

Tidak ada pertanyaan atau komentar dari mulut saya. Saya hanya bisa terdiam dan menunggu beliau melanjutkan ceritanya.

“If, I ask you to pray now, just do it. I do it because I love you. Next time, you will understand why you should pray. Begitulah, penjelasan awal dalam buku tersebut, Fet. Selanjutnya, di buku itu dijelaskan bahwa sholat itu diibaratkan sebagai sebuah kegiatan yang menyenangkan dan menggembirakan. Ketika kita melakukan sebuah kegiatan yang menyenangkan dan menggembirakan, tentu kita tidak ingin sendirian menikmatinya. Kita ingin semua anggota keluarga kita merasakan kesenangan dan kegembiraan dalam kegiatan itu. Bukankah perasaan itu manusiawi, Fet? Jawaban itu pula yang akhirnya saya sampaikan pada anak saya. Selain itu, saya berusaha berdiskusi dengannya tentang atheis, agama Islam, agama Kristen, agama Hindu dan agama Budha. Perlu waktu panjang bagi saya dan isteri saya untuk kembali menata akidah anak saya. Namun, akhirnya, doa dan perjuangan kami dikabulkan Allah. Ketika anak saya berujar: Ok, Dad, I will pray now, beribu-ribu syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. Saya sangat berharap keputusan kembali ke Indonesia adalah keputusan yang terbaik untuk keluarga saya, terutama untuk akidah anak sulung saya,” penjelasan panjang ini menutup pembicaraan saya dan atasan saya.

Hari itu saya banyak belajar bagaimana saya seharusnya menjadi orang tua yang baik untuk putra-putri saya nantinya. Saya salut dengan perjuangan beliau dan isteri untuk kembali menata akidah anak sulungnya. Saya salut dengan pilihan beliau dan isteri kembali ke Indonesia demi akidah anak sulungnya. Terima kasih, Bapak. Semoga saya bisa mencontoh perjuanganmu.



Buat seorang Bapak yang saya salut pada beliau, saya hanya bisa berucap: terima kasih, Bapak, untuk ceritanya.

Ayah, Aku Sayang Padamu

Sore ini tepat di depanku, duduk seorang bapak separuh baya, dengan penuh kasih mengusap kepala anaknya yang berkali-kali menguap karena kantuk. Menurut taksiranku, si bapak berusia 56 tahun dan si anak sekitar usia kelas empat SD. Aku merasa iri dengan kemesraan yang mereka pertontonkan.
Pikiranku menerawang. Terlintas kembali perjalanan waktu yang telah kuhabiskan bersama Ayah. Aku masih
ingat ketika suatu waktu, Ayah mengajakku mengunjungi rumah kakek yang jauh dari rumah kami. Ya, kakekku seorang petani yang sangat sederhana. Walaupun dengan ekonomi yang tidak menentu kakek berhasil mengantarkan anak-anaknya mengenyam pendidikan, mengantarkan mereka menjadi seorang guru. Padahal pada masa itu, pendidikan formal menjadi hal yang sangat istimewa dan mahal.

Ayah tunjukkan kepadaku bagaimana seorang anak harus bersikap terhadap orang tuanya. Ayah ajari aku,
tentang bakti seorang anak kepada orang yang telah bersusah mendidiknya.

Ayah, masih ingatkah engkau? Saat usiaku baru lima tahun. Hari itu kita berdua, bersepeda tua yang Ayah
miliki, kita lalui puluhan kilometer jalan yang membentang menuju rumah kakek. Susuri jalan berbatu
dengan hamparan tanaman padi yang menghijau.
Aku masih sering tersenyum mengenangnya, ketika suatu waktu sekembali kita dari rumah kakek, sepeda yang
kita kendarai dikejar kambing karena melihat sayuran yang kita bawa. Kita terjerembab ke sawah, dan kita
tertawa bersama. Hhhh... alih-alih menghindari kejaran kambing, sayuran yang kita bawa tidak ada yang
tersisa.

Ayah... ingin rasanya kuulangi kembali putaran waktu ke masa kecilku. Ingin rasanya kurasakan lagi keceriaan, ketika Ayah memintaku menginjak-nginjak punggungmu yang penat setelah seharian bekerja, tanpa tahu mengapa harus kulakukan itu?
Ayah... begitu sabarnya engkau, ketika mendengar celoteh rekan sejawat bahwa kita penghuni "pilla" -nyempil di sakola- (tinggal di rumah dinas) yang abadi. Walaupun sebenarnya aku tahu, begitu besarnya harapan Ayah mempersembahkan kepada kami anak-anakmu rumah bagus yang kita idamkan. Tidak seperti rumah
dinas yang kita tinggali, yang harus sering kita bersihkan lantainya dari runtuhan dinding yang mengelupas di sana-sini. Alhamdulillah, setelah 15 tahun jadi penghuni rumah dinas, kita bisa punya rumah sendiri, walaupun sangat jauh dari rumah ideal yang selalu kita perbincangkan.

Ayah berikan semua gaji yang tak seberapa di setiap awal bulan, demi pendidikan dan uang jajanku. Padahal
aku tahu, engkau sering mengabaikan kebutuhanmu, engkau sering lupa untuk beli baju, sepatu dan tas
yang akan kau pakai mengajar. Pernah suatu waktu kudengar murid-muridmu menertawaimu, karena tas,
sepatu dan baju yang kau kenakan selalu yang warna biru, karena hanya itulah yang kau punya. Ayah tidak
pernah malu, pergi mengajar bersepeda walau murid-muridmu sering mencemoohmu, bahkan sampai kini,
ketika sepeda motor murah banyak ditawarkan di berbagai iklan. Aku tahu, engkau ingin sekali suatu
waktu pergi mengajar dengan langkah ringan tanpa susah payah mengayuh sepeda yang kau kendarai. Tapi demi aku, demi anak-anakmu, Ayah relakan hidup bersahaja, hidup berdua bersama ibu dalam kesederhanaan.

Delapan tahun sudah kita tidak serumah, sejak aku memulai kuliah di kota ini. Aku rindu ayah... setelah kemesraan kita seolah sirna, karena kesombonganku yang jarang menjenguk Ayah dengan alasan sibuk bekerja, tidak betah dengan cuaca yang panas atau beribu alasan yang menghambur dari mulut ini. Padahal, cukup dengan tiga jam saja waktu yang mesti kulalui, perjalanan untuk menemuimu.

Ayah... dalam kesendirian hidupku di kota ini, aku rindu teriakan Ayah ketika menegurku untuk segera mandi dan berwudhu saat waktu shubuh tiba. Aku rindu untuk mendengar cerita masa kecil Ayah saat menggembala kerbau, mandi di sungai atau tentang kegiatan Ayah menghabiskan hari bulan ramadhan di surau mengkaji ilmu agama. Aku rindu dengan nasihat Ayah yang selalu menyejukkan. Masih selalu terdengar kata-kata Ayah ketika aku sering menangis karena dijahili teman-teman sekolah, "anak laki-laki harus tangguh!".

Ayah... aku yakin Ayah pasti lupa dengan kelancangan kata-kata yang menghambur dari mulutku yang busuk ini, kedurhakaan sikapku terhadapmu selama ini, dan Ayah pasti telah lupa dengan perilaku yang selalu
menyakitkan hatimu.

***
Sahabat, waktu terus berlalu, kita sering tidak sadar, bahwa setegar apapun Ayah kita, mereka manusia biasa,
yang selalu butuh tegur sapa dan canda kita, hanya untuk sekedar melepas ketegangan karena masalah yang
selalu menghampiri. Kita sering tidak sadar, perhatian berlebih yang semestinya kita berikan kepada orang tua
terus berkurang tergerus oleh aktivitas yang menyibukkan.

Bersyukurlah bagi kita yang masih mempunyai orang tua yang lengkap, yang masih menyertai kita melewati
hari-hari kehidupan ini. Karena ada di antara kita yang telah lama ditinggal orang tuanya, mendahului
menghadap-Nya atau karena alasan lain, bahkan ada sahabat kita yang tidak pernah tahu, siapa
ayah-ibunya. Ayo ah, jangan tunda lagi untuk memberikan pengabdian yang terbaik untuk mereka.
Karena kesuksesan mereka sesungguhnya adalah kesuksesan membesarkan kita, kesuksesan manakala
setiap sisi kehidupan kita selalui dihiasi oleh perilaku yang Rasulullah contohkan, berkata dan berbuat hanya mengharap ridha Allah Swt.

Ya Allah limpahkan kasih-Mu ya Muhaimin. Aku sadar, aku tidak akan pernah bisa membalas kasih sayang yang telah mereka curahkan. Mereka akan terus dan terus mendoakanku dalam sujud malamnya, dalam derai air mata pengharapannya, demi kesuksesan dunia akhiratku.

Ya Allah... muliakan mereka di sisi-Mu wahai Maha Pemberi Rahmat, di Jannah-Mu.
Ayah, setahun lagi usai sudah tugas formalmu mengabdi demi kecerdasan anak-anak negeri ini. Semoga derap
langkah dalam mengisi hari tuamu, selalu dihiasi dengan munajat dan keikhlasan dalam beramal dalam
rangka menjemput kematian yang khusnul khatimah, Amiin... semoga.

Panorama turun? Aku tersentak, ehm... sudah maghrib nih. Bergegas aku berlomba dengan para jamaah
pengajian, memburu mesjid terdekat untuk segera memenuhi panggilan-Nya. (Isola, selepas kerja,
mengenang sekian tahun perjalanan, saat kerinduan yang tak tertahankan terhadap ayah)

dari milist jayanusa