Ayah, Aku Sayang Padamu

Sore ini tepat di depanku, duduk seorang bapak separuh baya, dengan penuh kasih mengusap kepala anaknya yang berkali-kali menguap karena kantuk. Menurut taksiranku, si bapak berusia 56 tahun dan si anak sekitar usia kelas empat SD. Aku merasa iri dengan kemesraan yang mereka pertontonkan.
Pikiranku menerawang. Terlintas kembali perjalanan waktu yang telah kuhabiskan bersama Ayah. Aku masih
ingat ketika suatu waktu, Ayah mengajakku mengunjungi rumah kakek yang jauh dari rumah kami. Ya, kakekku seorang petani yang sangat sederhana. Walaupun dengan ekonomi yang tidak menentu kakek berhasil mengantarkan anak-anaknya mengenyam pendidikan, mengantarkan mereka menjadi seorang guru. Padahal pada masa itu, pendidikan formal menjadi hal yang sangat istimewa dan mahal.

Ayah tunjukkan kepadaku bagaimana seorang anak harus bersikap terhadap orang tuanya. Ayah ajari aku,
tentang bakti seorang anak kepada orang yang telah bersusah mendidiknya.

Ayah, masih ingatkah engkau? Saat usiaku baru lima tahun. Hari itu kita berdua, bersepeda tua yang Ayah
miliki, kita lalui puluhan kilometer jalan yang membentang menuju rumah kakek. Susuri jalan berbatu
dengan hamparan tanaman padi yang menghijau.
Aku masih sering tersenyum mengenangnya, ketika suatu waktu sekembali kita dari rumah kakek, sepeda yang
kita kendarai dikejar kambing karena melihat sayuran yang kita bawa. Kita terjerembab ke sawah, dan kita
tertawa bersama. Hhhh... alih-alih menghindari kejaran kambing, sayuran yang kita bawa tidak ada yang
tersisa.

Ayah... ingin rasanya kuulangi kembali putaran waktu ke masa kecilku. Ingin rasanya kurasakan lagi keceriaan, ketika Ayah memintaku menginjak-nginjak punggungmu yang penat setelah seharian bekerja, tanpa tahu mengapa harus kulakukan itu?
Ayah... begitu sabarnya engkau, ketika mendengar celoteh rekan sejawat bahwa kita penghuni "pilla" -nyempil di sakola- (tinggal di rumah dinas) yang abadi. Walaupun sebenarnya aku tahu, begitu besarnya harapan Ayah mempersembahkan kepada kami anak-anakmu rumah bagus yang kita idamkan. Tidak seperti rumah
dinas yang kita tinggali, yang harus sering kita bersihkan lantainya dari runtuhan dinding yang mengelupas di sana-sini. Alhamdulillah, setelah 15 tahun jadi penghuni rumah dinas, kita bisa punya rumah sendiri, walaupun sangat jauh dari rumah ideal yang selalu kita perbincangkan.

Ayah berikan semua gaji yang tak seberapa di setiap awal bulan, demi pendidikan dan uang jajanku. Padahal
aku tahu, engkau sering mengabaikan kebutuhanmu, engkau sering lupa untuk beli baju, sepatu dan tas
yang akan kau pakai mengajar. Pernah suatu waktu kudengar murid-muridmu menertawaimu, karena tas,
sepatu dan baju yang kau kenakan selalu yang warna biru, karena hanya itulah yang kau punya. Ayah tidak
pernah malu, pergi mengajar bersepeda walau murid-muridmu sering mencemoohmu, bahkan sampai kini,
ketika sepeda motor murah banyak ditawarkan di berbagai iklan. Aku tahu, engkau ingin sekali suatu
waktu pergi mengajar dengan langkah ringan tanpa susah payah mengayuh sepeda yang kau kendarai. Tapi demi aku, demi anak-anakmu, Ayah relakan hidup bersahaja, hidup berdua bersama ibu dalam kesederhanaan.

Delapan tahun sudah kita tidak serumah, sejak aku memulai kuliah di kota ini. Aku rindu ayah... setelah kemesraan kita seolah sirna, karena kesombonganku yang jarang menjenguk Ayah dengan alasan sibuk bekerja, tidak betah dengan cuaca yang panas atau beribu alasan yang menghambur dari mulut ini. Padahal, cukup dengan tiga jam saja waktu yang mesti kulalui, perjalanan untuk menemuimu.

Ayah... dalam kesendirian hidupku di kota ini, aku rindu teriakan Ayah ketika menegurku untuk segera mandi dan berwudhu saat waktu shubuh tiba. Aku rindu untuk mendengar cerita masa kecil Ayah saat menggembala kerbau, mandi di sungai atau tentang kegiatan Ayah menghabiskan hari bulan ramadhan di surau mengkaji ilmu agama. Aku rindu dengan nasihat Ayah yang selalu menyejukkan. Masih selalu terdengar kata-kata Ayah ketika aku sering menangis karena dijahili teman-teman sekolah, "anak laki-laki harus tangguh!".

Ayah... aku yakin Ayah pasti lupa dengan kelancangan kata-kata yang menghambur dari mulutku yang busuk ini, kedurhakaan sikapku terhadapmu selama ini, dan Ayah pasti telah lupa dengan perilaku yang selalu
menyakitkan hatimu.

***
Sahabat, waktu terus berlalu, kita sering tidak sadar, bahwa setegar apapun Ayah kita, mereka manusia biasa,
yang selalu butuh tegur sapa dan canda kita, hanya untuk sekedar melepas ketegangan karena masalah yang
selalu menghampiri. Kita sering tidak sadar, perhatian berlebih yang semestinya kita berikan kepada orang tua
terus berkurang tergerus oleh aktivitas yang menyibukkan.

Bersyukurlah bagi kita yang masih mempunyai orang tua yang lengkap, yang masih menyertai kita melewati
hari-hari kehidupan ini. Karena ada di antara kita yang telah lama ditinggal orang tuanya, mendahului
menghadap-Nya atau karena alasan lain, bahkan ada sahabat kita yang tidak pernah tahu, siapa
ayah-ibunya. Ayo ah, jangan tunda lagi untuk memberikan pengabdian yang terbaik untuk mereka.
Karena kesuksesan mereka sesungguhnya adalah kesuksesan membesarkan kita, kesuksesan manakala
setiap sisi kehidupan kita selalui dihiasi oleh perilaku yang Rasulullah contohkan, berkata dan berbuat hanya mengharap ridha Allah Swt.

Ya Allah limpahkan kasih-Mu ya Muhaimin. Aku sadar, aku tidak akan pernah bisa membalas kasih sayang yang telah mereka curahkan. Mereka akan terus dan terus mendoakanku dalam sujud malamnya, dalam derai air mata pengharapannya, demi kesuksesan dunia akhiratku.

Ya Allah... muliakan mereka di sisi-Mu wahai Maha Pemberi Rahmat, di Jannah-Mu.
Ayah, setahun lagi usai sudah tugas formalmu mengabdi demi kecerdasan anak-anak negeri ini. Semoga derap
langkah dalam mengisi hari tuamu, selalu dihiasi dengan munajat dan keikhlasan dalam beramal dalam
rangka menjemput kematian yang khusnul khatimah, Amiin... semoga.

Panorama turun? Aku tersentak, ehm... sudah maghrib nih. Bergegas aku berlomba dengan para jamaah
pengajian, memburu mesjid terdekat untuk segera memenuhi panggilan-Nya. (Isola, selepas kerja,
mengenang sekian tahun perjalanan, saat kerinduan yang tak tertahankan terhadap ayah)

dari milist jayanusa

Anak sepasang bintang

Jangan katakan apa-apa. Tidak ada yang perlu Bunda jelaskan tentang masa lalu. Bunda tetaplah Bunda. Perempuan yang dicipta dari seribu kuntum bunga!"

Bunda manusia biasa. Mungkin pernah khilaf di masa lalunya. Tapi bagiku Bunda adalah anugerah Allah terbesar dalam hidup ini.

------------------------
Anak sepasang bintang

"Bunda ..., jadah itu artinya apa?" Bunda tersentak waktu itu. Tak menyangka pertanyaan itu akan keluar dari sela bibir mungilku, gadis kecilnya yang baru berumur lima tahun. "Kenapa Sayang?" Bunda bertanya sambil mendekapku di dadanya.

"Orang-orang menyebutku seperti itu," jawabku dengan sangat polos. Aku memeluk Bunda semakin erat dan merasakan perlindungannya. Di waktu lainnya aku ajukan pertanyaan lain padanya.

"Bunda ..., apa saya punya Ayah? Orang-orang itu bilang saya tak punya Ayah," tanyaku. Bunda baru saja selesai mendongeng padaku waktu itu. Bunda tertegun begitu lama.

"Ada!" tegas Bunda meyakinkanku. "Di mana? Kenapa aku tak bisa menemuinya?"

Bunda membimbingku bangkit dari tempat tidur kayu berkepinding. Berjalan ke halaman tanpa penerangan. "Kau lihat langit di atas sana?" Bunda bertanya tanpa melepas genggamannya. Aku mengangguk mengiyakan. "Ayahmu ada di sana!" jawab Bunda meyakinkan.

Aku tidak melihat apa-apa. Selain langit hitam dan taburan berjuta bintang tidak ada gambar wajah manusia terlihat di sana. Tapi aku tidak ingin bertanya lagi. Barangkali ayahku adalah satu di antara kerlip bintang-bintang itu. Besok jika anak-anak itu menggodaku lagi dan mengatakan aku tidak punya ayah aku sudah punya jawabannya.
* * *
Sejak kecil aku cuma punya Bunda. Perempuan yang miskin tanpa harta tapi penuh cinta. Yang selalu menyediakan dadanya untuk menyerap luka-luka. Dengan upah seadanya sebagai tukang cuci pakaian pada beberapa keluarga, Bunda selalu menabung. Katanya aku harus sekolah setinggi mungkin dan jadi orang pandai. Agar tidak bodoh dan melarat seperti dirinya.

Bunda lewati seluruh kehidupan berat sendiri. Mengasuh anak yang terus tumbuh tanpa pendamping di sisi. Tidak mudah memang. Tapi tidak sekalipun aku melihatnya berduka. Kecuali sekali pada suatu malam aku terbangun dan melihatnya mengisak di atas sehelai sajadah. Setiap kali aku menanyakan hal itu pada Bunda, cuma air matalah yang kemudian menjadi jawabannya. Seperti menguak luka yang tak pernah kering sama sekali. Lalu aku jadi tak pernah tega memaksa Bunda untuk menjawabnya. Sebab Bunda terlalu mulia untuk terluka.

Aku tidak ingin mengecewakan Bunda. Perjuangannya tidak boleh sia-sia. Keinginannya melihatku sekolah setinggi mungkin memacu semangatku untuk belajar dengan giat. Aku selalu berhasil mencapai gelar juara sejak duduk di bangku SD hingga SMU. Lalu kemudian aku terpaksa berpisah dengan Bunda.

Aku diterima masuk tanpa test di salah satu perguruan tinggi terkemuka di kota Pontianak. Sekarang aku bahkan telah diterima bekerja di salah satu Bank Syariah terkemuka yang baru berdiri. Aku ingin menjemput Bunda untuk mengajaknya pindah ke kota ini. Tapi Bunda menolak.
* * *
Kukira dengan meninggalkan tempat kelahiran, aku akan bisa hidup dengan tenang. Semua mimpi buruk masa kecil tentang siapa ayahku tidak akan memburuku sampai ke kota ini. Tapi tidak. Sepertinya ia menjelma jadi kutukan yang mengikuti kemana aku pergi. Aku telah dewasa kini. Telah siap untuk menikah dan berkeluarga. Sudah tiga orang lelaki shaleh yang datang mengajukan lamaran padaku. Tapi sudah tiga kali pula aku terpaksa menolaknya. Aku takut menceritakan keluargaku. Aku tak mungkin mengatakan bahwa aku anak sebuah bintang.

"Rabbi ..., aku hanya ingin tahu siapa lelaki yang menjadi ayahku. Hanya itu. Apa aku durhaka pada Bunda?"

"Kau beruntung masih mempunyai Bunda. Aku dibesarkan di panti asuhan, tak tahu siapa keluargaku." Asti, teman satu kamarku mencoba menghiburku. Aku insyaf kini. Aku masih sangat beruntung mempunyai Bunda. Dalam sujudku malam itu aku menangis. Mohon kesempatan pada Allah untuk membahagiakan Bunda. Perempuan yang dicipta dari seribu kuntum bunga.
* * *
Berita itu sampai lewat seorang tamu. Salah seorang tetangga kami di kampung dulu. Sengaja datang untuk mengunjungiku. Padaku ia cerita Bunda sedang sakit. "Sebenarnya ia sakit sejak lama. Tapi tak mau cerita. Bunda bilang tak mau kalau pekerjaanmu terganggu. Tapi aku pikir kau memang perlu tahu!"

Di rumah aku lihat Bunda terbaring di tempat tidurnya. Tempat tidur yang sama seperti masa kecilku dulu. Tempat Bunda biasa mendekap, mendongeng dan berdoa sebelum lelap menyergapku.

"Kenapa Bunda tidak memberitahuku?" tanyaku setelah mencium tangannya.

"Bunda tak mau pikiranmu terganggu," jawabnya sambil tetap mengukir senyum di wajahnya. Tapi aku melihatnya semakin lemah saja. "Bunda ingin mengatakan sesuatu tentang ayahmu, ia ...,"

"Tidak perlu, Bunda," potongku cepat. "Jangan katakan apa-apa. Tidak ada yang perlu Bunda jelaskan tentang masa lalu. Bunda tetaplah Bunda. Perempuan yang dicipta dari seribu kuntum bunga!"

Aku memang sudah tidak lagi perduli. Bunda manusia biasa. Mungkin pernah khilaf di masa lalunya. Tapi bagiku kini Bunda adalah anugerah Allah terbesar dalam hidup ini. Dua hari kemudian Bunda berpulang ke Rahmatullah.

Malam itu kembali aku menatap langit. Seperti waktu kecil dulu saat aku bertanya pada Bunda di mana ayahku. Bunda akan menunjuk ke arah langit.Tempat kegelapan malam dihiasi pendar jutaan bintang. Bunda kini telah pergi. Menyusul ayahku di tempat yang abadi. Dan aku tahu kini. Jika seorang lelaki shaleh datang untuk melamar dan bertanya tentang keluargaku, aku akan mengatakan bahwa aku adalah anak sepasang bintang!

Sahabat, apa pun yang kehidupan berikan kepada kita, syukuri dan nikmatilah. Karena sesungguhnya, dalam tiap kesukaran ada kemudahan, dalam tiap kepahitan selalu terselip berkah, sepanjang mata hati kita selalu terasah. (CN02)

Jeruk Busuk Rasa Manis

Oleh Bayu Gawtama


Suatu hari, ketika saya sedang menjenguk salah satu saudara yang tengah dirawat di rumah sakit, terdengar suara makian keras dari pasien sebelah, "Bawa jeruk kok busuk, mau ngeracunin saya? Biar saya cepat mati?"

Suara marah itu berasal dari lelaki tua yang kedatangan salah satu keluarganya dengan membawa jeruk. Boleh jadi benar, bahwa beberapa jeruk dalam jinjingan itu busuk atau masam. Meski tidak semua jeruk yang dibawanya itu busuk dan sangat kebetulan yang terambil pertama oleh si pasien yang busuk. Dan tanpa bertanya lagi, marahlah ia kepada si pembawa jeruk.

Sebenarnya, boleh dibilang wajar jika seorang pasien marah lantaran kondisinya labil dan kesehatannya terganggu. Ketika ia marah karena jeruk yang dibawa salah satu keluarganya itu busuk, mungkin itu hanya pemicu dari segunung emosi yang terpendam selama berhari-hari di rumah sakit. Penat, bosan, jenuh, mual, pusing, panas, dan berbagai perasaan yang menderanya selama berhari-hari, belum lagi ditambah dengan bisingnya rumah sakit, perawat yang kadang tak ramah, keluarga yang mulai uring-uringan karena kepala keluarganya sekian hari tak bekerja, semuanya membuat dadanya bergemuruh. Lalu datanglah salah satu saudaranya dengan setangkai ketulusan berjinjing jeruk. Namun karena jeruk yang dibawanya itu tak bagus, marahlah ia.

Wajar. Sekali lagi wajar. Tetapi tidak dengan peristiwa lain yang hampir mirip terjadi di acara keluarga besar belum lama ini. Seorang keluarga yang tengah diberi ujian Allah menjalani kehidupannya dalam ekonomi menengah ke bawah, berupaya untuk tetap berpartisipasi dalam acara keluarga besar tersebut. Tiba-tiba, "Kalau nggak mampu beli jeruk yang bagus, mending nggak usah beli. Jeruk asam gini siapa yang mau makan?" suara itu terdengar di tengah-tengah keluarga dan membuat malu keluarga yang baru datang itu.

Pupuslah senyum keluarga itu, rusaklah acara kangen-kangenan keluarga oleh kalimat tersebut. Si empunya suara mungkin hanya melihat dari jeruk masam itu, tapi ia tak mampu melihat apa yang sudah dilakukan satu keluarga itu untuk bisa membawa sekantong jeruk yang boleh jadi harganya tak seberapa.

Harga sekantong jeruk mungkin tak lebih dari sepuluh ribu rupiah. Tapi tahukah seberapa besar pengorbanan yang dilakukan satu keluarga itu untuk membelinya? Rumahnya sangat jauh dari rumah tempat acara keluarga, dan sedikitnya tiga kali tukar angkutan umum. Sepuluh ribu itu seharusnya bisa untuk makan satu hari satu keluarga. Boleh jadi mereka akan menggadaikan satu hari mereka tanpa lauk pauk di rumah. Atau jangan-jangan pagi hari sebelum berangkat, tak satu pun dari anggota keluarga itu sempat menyantap sarapan karena uangnya dipakai untuk membeli jeruk. Yang lebih parah, mungkin juga mereka rela berjalan kaki dari jarak yang sangat jauh dan memilih tak menumpang satu dari tiga angkutan umum yang seharusnya. "Ongkos bisnya kita belikan jeruk saja ya, buat bawaan. Nggak enak kalau nggak bawa apa-apa," kata si Ayah kepada keluarganya.

Kalimat sang Ayah itu, hanya bisa dijawab dengan tegukan ludah kering si kecil yang sudah tak sanggup menahan lelah dan panas berjalan beberapa ratus meter. Tak tega, Ayah yang bijak itu pun menggendong gadis kecil yang hampir pingsan itu. Ia tetap memaksakan hati untuk tega demi bisa membeli harga dari di depan keluarga besarnya walau hanya dengan sekantong jeruk. Menahan tangisnya saat mendengar lenguhan nafas seluruh anggota keluarganya sambil berkali-kali membungkuk, jongkok, atau bahkan singgah sesaat untuk mengumpulkan tenaga. Itu dilakukannya demi mendapatkan sambutan hangat keluarga besar karena menjinjing sesuatu.

Setibanya di tempat acara, sebuah rumah besar milik salah satu keluarga jauh yang sukses, menebar senyum di depan seluruh keluarga yang sudah hadir sambil bangga bisa membawa sejinjing jeruk, lupa sudah lelah satu setengah jam berjalan kaki, tak ingat lagi terik yang memanggang tenggorokan, bertukar dengan sejumput rindu berjumpa keluarga. Namun, terasa sakit telinga, layaknya dibakar dua matahari siang. Lebih panas dari sengatan yang belum lama memanggang kulit, ketika kalimat itu terdengar, "Jeruk asam begini kok dibawa..."

Duh. Jika semua tahu pengorbanan yang dilakukan satu keluarga itu untuk bisa menjinjing sekantong jeruk tadi, pastilah semua jeruk asam itu akan terasa manis. Jauh lebih manis dari buah apa pun yang dibawa keluarga lain yang tak punya masalah keuangan. Yang bisa datang dengan kendaraan pribadi atau naik taksi dengan ongkos yang cukup untuk membeli seperti jeruk manis dan segar.

Mampukah kita melihat sedalam itu? Sungguh, manisnya akan terasa lebih lama, meski jeruknya sudah dimakan berhari-hari yang lalu.

Dasyatnya Sedekah

Dimanakah letak kedahsyatan hamba-hamba Allah yang bersedekah? Dikisahkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan Ahmad, sebagai berikut :

Tatkala Allah SWT menciptakan bumi, maka bumi pun bergetar. Lalu Allah pun menciptkana gunung dengan kekuatan yang telah diberikan kepadanya, ternyata bumi pun terdiam. Para malaikat terheran-heran akan penciptaan gunung tersebut. Kemudian mereka bertanya? "Ya Rabbi, adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari pada gunung?"


Allah menjawab, "Ada, yaitu besi" (Kita mafhum bahwa gunung batu pun bisa menjadi rata ketika dibor dan diluluhlantakkan oleh buldozer atau sejenisnya yang terbuat dari besi).

Para malaikat pun kembali bertanya, "Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari pada besi?"

Allah yang Mahasuci menjawab, "Ada, yaitu api" (Besi, bahkan baja bisa menjadi cair, lumer, dan mendidih setelah dibakar bara api).

Bertanya kembali para malaikat, "Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari pada api?"

Allah yang Mahaagung menjawab, "Ada, yaitu air" (Api membara sedahsyat apapun, niscaya akan padam jika disiram oleh air).

"Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari air?" Kembali bertanya para malaikta.

Allah yang Mahatinggi dan Mahasempurna menjawab, "Ada, yaitu angin" (Air di samudera luas akan serta merta terangkat, bergulung-gulung, dan menjelma menjadi gelombang raksasa yang dahsyat, tersimbah dan menghempas karang, atau mengombang-ambingkan kapal dan perahu yang tengah berlayar, tiada lain karena dahsyatnya kekuatan angin. Angin ternyata memiliki kekuatan yang teramat dahsyat).

Akhirnya para malaikat pun bertanya lagi, "Ya Allah adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih dari semua itu?"

Allah yang Mahagagah dan Mahadahsyat kehebatan-Nya menjawab, "Ada, yaitu amal anak Adam yang mengeluarkan sedekah dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya tidak mengetahuinya."

Artinya, orang yang paling hebat, paling kuat, dan paling dahsyat adalah orang yang bersedekah tetapi tetap mampu menguasai dirinya, sehingga sedekah yang dilakukannya bersih, tulus, dan ikhlas tanpa ada unsur pamer ataupun keinginan untuk diketahui orang lain.


Inilah gambaran yang Allah berikan kepada kita bagaimana seorang hamba yang ternyata mempunyai kekuatan dahsyat adalah hamba yang bersedekah, tetapi tetap dalam kondisi ikhlas. Karena naluri dasar kita sebenarnya selalu rindu akan pujian, penghormatan, penghargaan, ucapan terima kasih, dan sebagainya. Kita pun selalu tergelitik untuk memamerkan segala apa yang ada pada diri kita ataupun segala apa yang bisa kita lakukan. Apalagi kalau yang ada pada diri kita atau yang tengah kita lakukan itu berupa kebaikan.

Karenanya, tidak usah heran, seorang hamba yang bersedekah dengan ikhlas adalah orang-orang yang mempunyai kekuatan dahsyat. Sungguh ia tidak akan kalah oleh aneka macam selera rendah, yaitu rindu pujian dan penghargaan.

Apalagi kedahsyatan seorang hamba yang bersedekah dengan ikhlas? Pada suatu hari datang kepada seorang ulama dua orang akhwat yang mengaku baru kembali dari kampung halamannya di kawasan Jawa Tengah. Keduanya kemudian bercerita mengenai sebuah kejadian luar biasa yang dialaminya ketika pulang kampung dengan naik bis antar kota beberapa hari sebelumnya. Di tengah perjalanan bis yang ditumpanginya terkena musibah, bertabrakan dengan dahsyatnya. Seluruh penumpang mengalami luka berat. Bahkan para penumpang yang duduk di kurs-kursi di dekatnya meninggal seketika dengan bersimbah darah. Dari seluruh penumpang tersebut hanya dua orang yang selamat, bahkan tidak terluka sedikit pun. Mereka itu, ya kedua akhwat itulah. Keduanya mengisahkan kejadian tersebut dengan menangis tersedu-sedu penuh syukur.

Mengapa mereka ditakdirkan Allah selamat tidak kurang suatu apa? Menurut pengakuan keduanya, ada dua amalan yang dikerjakan keduanya ketika itu, yakni ketika hendak berangkat mereka sempat bersedekah terlebih dahulu dan selama dalam perjalanan selalu melafazkan zikir.

Sahabat, tidaklah kita ragukan lagi, bahwa inilah sebagian dari fadhilah (keutamaan) bersedekah. Allah pasti menurunkan balasannya disaat-saat sangat dibutuhkan dengan jalan yang tidak pernah disangka-sangka.

Allah Azza wa Jalla adalah Zat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada semua hamba-Nya. Bahkan kepada kita yang pada hampir setiap desah nafas selalu membangkang terhadap perintah-Nya pada hampir setiap gerak-gerik kita tercermin amalan yang dilarang-Nya, toh Dia tetap saja mengucurkan rahmat-Nya yang tiada terkira.

Segala amalan yang kita perbuat, amal baik ataupun amal buruk, semuanya akan terpulang kepada kita. Demikian juga jika kita berbicara soal harta yang kini ada dalam genggaman kita dan kerapkali membuat kita lalai dan alpa. Demi Allah, semua ini datangnya dari Allah yang Maha Pemberi Rizki dan Mahakaya. Dititipkan-Nya kepada kita tiada lain supaya kita bisa beramal dan bersedekah dengan sepenuh ke-ikhlas-an semata-mata karena Allah. Kemudian pastilah kita akan mendapatkan balasan pahala dari pada-Nya, baik ketika di dunia ini maupun saat menghadap-Nya kelak.

Dari pengalaman kongkrit kedua akhwat ataupun kutipan hadits seperti diuraikan di atas, dengan penuh kayakinan kita dapat menangkap bukti yang dijanjikan Allah SWT dan Rasul-Nya, bahwa sekecil apapun harta yang disedekahkan dengan ikhlas, niscaya akan tampak betapa dahsyat balasan dari-Nya.

Inilah barangkali kenapa Rasulullah menyerukan kepada para sahabatnya yang tengah bersiap pergi menuju medan perang Tabuk, agar mengeluarkan infaq dan sedekah. Apalagi pada saat itu Allah menurunkan ayat tentang sedekah kepada Rasulullah SAW, "Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir; seratus biji Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui," demikian firman-Nya (QS. Al-Baqarah [2] : 261).

Seruan Rasulullah itu disambut seketika oleh Abdurrahman bin Auf dengan menyerahkan empat ribu dirham seraya berkata, "Ya, Rasulullah. Harta milikku hanya delapan ribu dirham. Empat ribu dirham aku tahan untuk diri dan keluargaku, sedangkan empat ribu dirham lagi aku serahkan di jalan Allah."

"Allah memberkahi apa yang engkau tahan dan apa yang engkau berikan," jawab Rasulullah.

Kemudian datang sahabat lainnya, Usman bin Affan. "Ya, Rasulullah. Saya akan melengkapi peralatan dan pakaian bagi mereka yang belum mempunyainya," ujarnya.

Adapun Ali bin Abi Thalib ketika itu hanya memiliki empat dirham. Ia pun segera menyedekahkan satu dirham waktu malam, satu dirham saat siang hari, satu dirham secara terang-terangan, dan satu dirham lagi secara diam-diam.

Mengapa para sahabat begitu antusias dan spontan menyambut seruan Rasulullah tersebut? Ini tiada lain karena yakin akan balasan yang berlipat ganda sebagaimana telah dijanjikan Allah dan Rasul-Nya. Medan perang adalah medan pertaruhan antara hidup dan mati. Kendati begitu para sahabat tidak ada yang mendambakan mati syahid di medan perang, karena mereka yakin apapun yang terjadi pasti akan sangat menguntungkan mereka. Sekiranya gugur di tangan musuh, surga Jannatu na’im telah siap menanti para hamba Allah yang selalu siap berjihad fii sabilillaah. Sedangkan andaikata selamat dapat kembali kepada keluarga pun, pastilah dengan membawa kemenangan bagi Islam, agama yang haq!

Lalu, apa kaitannya dengan memenuhi seruan untuk bersedekah? Sedekah adalah penolak bala, penyubur pahala dan pelipat ganda rizki; sebutir benih menumbuhkan tujuh bulir, yang pada tiap-tiap bulir itu terjurai seratus biji. Artinya, Allah yang Mahakaya akan membalasnya hingga tujuh ratus kali lipat. Masya Allah!

Sahabat, betapa dahsyatnya sedekah yang dikeluarkan di jalan Allah yang disertai dengan hati ikhlas, sampai-sampai Allah sendiri membuat perbandingan, sebagaimana tersurat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, seperti yang dikemukakan di awal tulisan ini.***

Beli Aja, Kasihan...

Oleh Adi J. Mustafa


"'Di... coba lihat, itu yang di depan menawarkan apa...?" Mamah meminta saya untuk memeriksa ketika terdengar seseorang menjajakan sesuatu di depan rumah. Saya pun segera beranjak ke depan, lalu bertanya kepada si bapak di depan, apa yang dijualnya. Setelah itu kembali ke dalam rumah.

"'Mah... Bapak itu menawarkan gula merah."

"Oh, si Bapak yang itu... Beli tiga bungkus," kata Mamah. Mamah sepertinya sudah hapal dengan si bapak penjual itu.

"Mamah, kita kan masih ada gula merah. Kemarin Adi lihat masih ada beberapa bungkus di dapur," ujar saya. Di rumah saya memang memanggil nama diri sendiri ketika bercakap-cakap dengan orang tua.

"Meuli wae, 'Di, deudeuh... Si Bapak keur panas montereng kieu ngider nawar-nawarkeun daganganna. Meureun can aya nu meuli..." Mamah tetap meminta saya membelinya.*)

Akhirnya meskipun saya masih bertanya-tanya dengan cara berpikir Mamah, saya pun ke depan lagi dan membeli tiga bungkus gula seperti Mamah minta. Mamah juga sempat ke depan dan menyapa si bapak penjual gula, sambil menawarkan air untuk minum. Bapak penjual gula berterima kasih, tapi dia memilih segera pergi untuk kembali menjajakan gulanya.

***

Kejadian di atas tertanam kuat pada benak saya. Perlu beberapa lama untuk menyerap dan memahami dorongan kejiwaan apa yang ada di lubuk hati Mamah, untuk membeli barang yang sebetulnya tidak dibutuhkannya. Pembelian yang semata didasarkan pada rasa kasihan kepada penjual itu.

Saya pernah mendengar Mamah di masa anak-anaknya sudah mesti membantu Abah dan Embah (panggilan saya kepada Kakek dan Nenek yang sekarang sudah tiada) dengan berjualan. Barangkali tempaan kehidupan seperti itu termasuk bagian yang membentuk jiwa yang lembut menyayangi orang lain.

Ah... saya jadi malu. Mungkin secara keilmuan saya lebih tahu daripada Mamah tentang arti al-itsar atau mendahulukan orang lain daripada diri sendiri. Satu kondisi puncak seseorang dalam membuktikan persaudaraan dalam keimanan; Barangkali saya lebih tahu juga sifat Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan tak pernah menolak seseorang yang meminta sesuatu kepada beliau. Kalau perlu beliau membantu dengan meminjam dahulu kepada orang lain. Barangkali juga saya lebih hafal ayat "dan barangsiapa dipelihara dari kekikiran jiwanya, maka merekalah orang-orang yang beruntung" (QS. al-Hasyr:9). Akan tetapi hikmah itu rupanya lebih dahulu dimiliki Mamah. Ah... ternyata rasionalitas yang ada di kepala saya amat tipis perbedaannya dengan sikap tidak ber-empati kepada orang lain.

Dan sekarang saya masih terus mendidik jiwa untuk semakin meresapi indahnya bersikap dermawan. Sikap ini juga yang coba saya bagi kepada isteri dan anak-anak. Atau mungkin malah isteri saya yang lebih dahulu menangkap hikmah ini dan saya belajar darinya.

***

Sebuah keluarga, seorang ayah, ibu dan empat orang anak, mampir di sebuah rumah makan pada perjalanan pulang mudik lebaran. Suasana pulang mudik mudah terlihat dari isi mobil mereka. Berbagai oleh-oleh dari orang tua memenuhi mobil mulai peuyeum ketan, opak sampai sekarung beras yang dipanen dari sepetak kecil sawah orang tua.

Di tengah suasana makan nampak seorang bapak tua menghampiri meja makan mereka. Bapak itu membawa wadah besi ukuran satu liter yang biasa dipakai para penjual beras di pasar. Bapak itu pun menawarkan berasnya untuk dibeli, seraya menyebutkan kualitas berasnya bagus dan tidah mahal pula.

"Beras Cianjur asli, Pak...?" tanya ayah empat orang anak itu setelah menghentikan suapan-suapan makannya.

"Sumuhun, Cep...," jawab si bapak membenarkan.

"Gimana 'Bu...?" Si ayah mengalihkan pandangannya kepada isterinya. Si isteri menjawab tatapan mata suaminya dengan penuh pengertian.

"Pak, punten dibungkus lima kilo, nya." Si isteri langsung menyampaikan pesanan pembelian kepada si bapak.

"Hatur nuhun, Neng. Bapak bawa beras dan timbangannya ke sini ya...?" kata bapak penjual beras.

"Teu kedah, Pak. Ditimbang di tempat Bapak aja. Nanti beras yang sudah ditimbangnya dibawa ke sini," giliran si ayah menimpali.

Anak-anak di keluarga itu memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan orang tua mereka. Barangkali di benak mereka ada keheranan, mengapa ayah dan ibu membeli beras, sementara di mobil ada sekarung beras dari kakek mereka...



===

*) "Beli aja, 'Di, kasihan... Si Bapak sedang panas terik begini ke sana ke mari menawar-nawarkan dagangannya. Mungkin belum ada yang beli..."

Bapaknya Anak Yatim

Namanya pak Syarif. Saya mengenal dia ketika kami masih sama-sama mengais rejeki di negeri seberang.. Sosoknya sederhana, bicaranya juga sederhana. Ia seorang tukang rumput perumahan di Brunei Darussalam. Hampir limabelas tahun dia menjalani usaha itu.

Ia tak terikat dengan majikan, tapi usaha jasa sendiri. Sehingga ia agak leluasa bergaul dengan sesama TKI di negri itu. Ia mengontrak rumah sendiri. Satu anaknya sudah sekolah di sana.

Saya rajin silaturrahmi ke kontrakannya. Saya banyak menimba ilmu agama dari dia. Maklum, ia adalah alumni salah satu pesantren di Kediri Jawa Timur. Dan isterinya adalah seorang hafidzah, penghafal Al-Qur’an tiga puluh juz.

Dua tahun lebih saya mengenal dia dan keluarganya. Sebagai keluarga yang biasa-biasa saja. Ketika berbicara tentang Islam pun ia juga biasa. Artinya ia tak punya kesan muluk-muluk. Satu aktifitasnya yang cukup menarik adalah ia mengkoordinir beberapa kawan sesama TKI untuk menyisihkan sebagian rezekinya. Dan setahun sekali, biasanya menjelang Ramadhan, mereka menyumbangkan dana itu ke beberapa pesantren di pulau Jawa.

Satu bulan menjelang kepulangan saya, ada sesuatu yang tiba-tiba menjadi luar biasa di mata saya. Sesuatu yang tak pernah ia ceritakan sebelum ini. “Kalau kamu nanti sudah di tanah air, carikan saya anak yatim ya…”

Terus terang saya kaget. Saya belum pernah bertemu dengan sosok orang yang seperti itu. Sebelum ini, saya sering berjumpa dengan seseorang yang berkaitan erat dengan anak yatim, tapi mereka yang mencari dana untuk menghidupi mereka. Bukan mencari orang untuk dihidupi.

Saya makin penasaran dengan kehidupan dia. Sampai ahirnya ia bercerita tentang pandangan hidupnya selama ini. Ia banyak bercerita kepada saya. Tentang hidup yang ia jalani sekarang ini.

Hasil dari usahanya belasan tahun di negeri seberang ia pergunakan untuk membeli tanah, ladang dan sawah di daerah tempat tinggalnya, di Ngawi, Jawa Timur. Ia juga membeli mesin penggilingan padi dan tahu untuk dikelola saudara-saudaranya.

“Saya mempunyai cita-cita membuat semacam pesantren dan usaha untuk anak yatim. Alhamdulillah, hasil dari sawah, ladang dan usaha peggilingan padi Insya Allah sudah bisa untuk menghidupi seratus lebih anak yatim.”

Allahu Akbar. Saya sepontas memuji kebesaran Allah. Saya sama sekali tak menyangka dari balik sosok yang sangat sederhana dan “ndeso” itu ternyata terdapat tujuan yang sangat mulia. Saat itu juga saya langsung memeluk tubuh dia. Tubuh yang masih berbau keringat karena baru saja selesai bekerja.

“ Aku ingin membangun rumah di sorga,” katanya pada saya.

Maka beberapa waktu lalu, ketika saya dan seorang teman berencana untuk sedikit mengurus beban hidup anak yatim yang terlantar di daerah saya, cepat-cepat saya menghubungi dia. Dengan antusias ia menjawab, “Ya, saya siap membantu.”

Saya sangat senang mendengar jawaban pak Syarif. Mudah-mudahan ini adalah awal dari kami, dalam rangka berbagi dengan saudara-saudara kami yang terlantar, karena tak punya bapak dan ibu.

Adakah dari anda yang juga mau berbuat seperti pak Syarif, yang ingin berperan sebagai bapaknya anak yatim? Insya Allah, saya dan seorang teman, siap menyalurkannya kepada yang berhak.

****
di tulis oleh
Suswoyo